BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dilahirkan di dalam dunia sosial
di mana mereka harus bergaul dengan manusia lain yang di sekitarnya. Sejak awal
hidupnya dia sudah bergaul sosial dengan terdekat, meskipun bentuk masih satu
arah orang tua berbicara, dan bayi hanya mendengarnya saja. Dalam perkembangan
hidup selanjutnya, dia mulai memperoleh bahasa setapak demi
setapak. Pada saat yang sama, dia juga sudah dibawa ke dalam kehidupan sosial
di mana terdapat rambu-rambu perilaku kehidupan. Rambu-rambu ini diperlukan
karena meskipun manusia itu dilahirkan bebas, tetap saja dia harus hidup
bermasyarakat. Ini berarti bahwa dia harus pula menguasai norma-norma sosial
budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagian dari norma-norma ini
tertanam dalam bahasa sehingga kompetensi anak tidak hanya terbatas pada apa
yang dinamakan pemakaian bahasa (language usage) tetapi juga penggunaan bahasa
(language use). Dengan kata lain, anak harus pula menguasai kemampuan
pragmatik.
Suatu informasi pada dasarnya
mensyaratkan kecukupan (sufficient) dalam struktur internal informasi itu
sendiri sehingga orang yang diajak komunikasi dapat memahami pesan dengan
tepat. Persoalan akan muncul, bagaimana jika informasi itu hanya dapat dipahami
dari konteksnya.
Deiksis adalah istilah yang digunakan
untuk menunjukkan keniscayaan hadirnya acuan ini dalam suatu informasi.
Menariknya, deiksis ini erat kaitannya dengan konteks berbahasa.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
disampaikan di atas, ada beberapa permasalah yang disampaikan dalam makalah ini
yaitu:
A. Apa itu deiksis?
B. Ada berapa jenis deiksis?
1.3 Tujuan Makalah
Dari latar belakang serta rumusan
masalah di atas, ada beberapa manfaat yang ingin dicapai.
A. Mengetahui apa itu deiksis.
B. Mengetahui jenis-jenis deiksis.
1.4 Manfaat Penulisan
A. Mahasiswa
Bagi mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia,
makalah ini dapat digunakan sebagai referensi atau bahan penunjang kegiatan
perkulliahan. Makalah ini dapat mambantu kesulitan mahasiswa dalam menemukan
referensi yang tepat mengenai kajian pragmatik, khususnya deiksis.
B. Dosen
Bagi dosen, makalah ini dapat dijadikan
sebagai bahan kajian untuk memberikan pengajaran tentang Pragmatik, khusunya
tentang deiksis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Deiksis
Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos,
yang berarti hal penunjukan secara langsung. Dalam linguistik kata
itu dipakai untuk manggambarkan fungsi kata ganti persona, kata ganti
demonstratif, fungsi waktu dan macam-macam ciri gramatikal dan leksikal lainnya
yang menghubungkan ujaran dengan jalinan ruang dan waktu dalam tindak ujaran.
Yang dimaksud deiksis adalah hubungan antara kata yang digunakan dalam tindak
tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah-berubah
(Chaer dan Leonie, 2004:57). Sebuah kata dikatakan deiksis apabila
referen atau rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti tergantung pada
siapa yang menjadi si pembicara atau tergantung pada saat dan tempat dituturkan
kata itu.
Deiksis adalah kata atau frase yang
menunjuk kepada kata, frase, atau ungkapan yang telah dipakai atau yang akan
diberikan (Agustina, 1995:40).
Purwo (1984:1) menjelaskan bahwa sebuah
kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau
berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi sipembicara dan tergantung
pada saat dan tempat dituturkannya kata itu.
Pengertian deiksis yang lain dikemukakan
oleh Lyons (Dalam Djaja Sudarma, 2010:51) yang menjelaskan bahwa deiksis adalah
lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang
sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi
ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak
bicara.
Dalam KBBI (1991: 217), deiksis
diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata
tunjuk pronominal. Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah
atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995:
217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan
menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh
penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Pengertian deiksis dibedakan dengan
pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang
menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan
unsur di dalam bahasa itu sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik
yang mengacu kata yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada
di depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6).
Dari penjelasan mengenai deiksis di atas
dapat disimpulkan bahwa deiksis adalah kata, frase atau atau ungkapan yang
rujukannya berpindah-pindah tergantung pada siapa yang menjadi pembicara, waktu
dan tempat dituturkannya satuan bahasa tersebut.
Fenomena deiksis merupakan cara yang
paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur
bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiktis.
Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini,
sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat
mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat
orientasi deiksis adalah penutur.
2.2 Jenis-jenis Deiksis
Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis
orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial
(Nababan, 1987: 40).
Selain itu Kaswanti Purwo (Sumarsono:
2008;60) menyebut beberapa jenis deiksis, yaitu deiksis persona, tempat, waktu,
dan penunjuk. Sehingga jika digabungkan menjadi enam jenis deiksis. Paparan
lebih lengkap sebagai berikut.
A.
Deiksis Orang atau Persona
Istilah persona berasal dari kata Latin
persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng
(topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak
yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa
waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan
permainan bahasa (Lyons, 1977: 638 via Djajasudarma, 1993: 44). Deiksis
perorangan (person deixis); menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa
percakapan misalnya pembicara, yang dibicarakan, dan entitas yanng lain.
Deiksis ini adalah bentuk kepada
personal atau orang, yang mencakup ketiga kelas kata ganti diri, yaitu: kata
ganti orang pertama, kata ganti orang kedua baik bentuk tunggal maupun jamak.
Misalnya: saya, aku, untuk kata ganti orang pertama tunggal. Kami, untuk kata
ganti orang pertama jamak. Engkau, kamu, saudara, ibu, bapak untuk kata ganti
orang kedua tunggal dan kalian, saudara-saudara untuk kata ganti orang kedua
jamak. Ia, dia, untuk kata ganti orang ketiga tunggal dan mereka untuk kata
ganti orang ketiga jamak.
Deiksis orang ditentukan menurut peran
peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga.
Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya
atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua
ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar
atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara.
Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan
pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan
mereka.
Kata ganti persona pertama dan kedua
rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti bahwa rujukan pertama dan kedua
pada situasi pembicaraan (Purwo, 1984: 106).
Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa
pembicara dan lawan bicara kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu
dituturkan. Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan endofora, maka
kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi kalimat tidak
langsung. (Setiawan, 1997: 8).
Bentuk pronomina persona pertama jamak
bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk tersebut, baik yang berupa bentuk
kita maupun bentuk kami masih mengandung bentuk persona pertama tunggal dan
persona kedua tunggal.
Berbeda dengan kata ganti persona
pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga, baik tunggal, seperti bentuk dia,
ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti bentuk sekalian dan kalian, dapat
bersifat endofora dan eksofora. Oleh karena bersifat endofora, maka dapat
berwujud anafora dan katafora (Setiawan, 1997: 9).
Deiksis persona merupakan deiksis asli,
sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat adalah deiksis jabaran. Menurut
pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21) bahwa deiksis persona merupakan
dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu.
Deiksis perorangan menunjukan
subjektivitas dalam struktur semantik. Deiksis perorangan hanya dapat ditangkap
jika kita memahami peran dari pembicara, sumber ujaran, penerima, target
ujaran, dan pendengar yang bukan dituju atau ditarget. Dengan demikian kita
dapat mengganti kata ganti dan kata sifat pada contoh (6) dengan contoh (7)
atau (8) dalam proses ujaran.
(6) “give me your hand”
(7) “give him your hand”
(8) “I give him my hand”
Berikutnya, penting kiranya melihat
jumlah jamak yang berbeda maknanya ketika kita terapkan pada orang pertama dan
orang ketiga. Pada orang pertama, bukan berarti multiplikasi dari pembicara.
Juga, “we” dapat menjadi inklusif atau eksklusif dari yang ditunjuk. Sistem
kata ganti berbeda dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain karena ragam
perbedaan ditambahkan seperti jumlah dua, jenis kelamin, status sosial, dan
jarak sosial. Lebih-lebih, istilah keturunan juga menunjuk pada deiksis.
Misalnya, dalam bahasa Aborigin Australia ada istilah yang digunakan untuk
seseorang yang merupakan bapak pembicara dan merupakan kakek pembicara. Bapak
pembicara yang bukan kakek pembicara akan ditunjukan dengan istilah yang lain.
Jika ditinjau dari segi artinya,
pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu ke nomina lain. Jika dilihat
dari segi fungsinya, dapat dikatakan bahwa pronomina menduduki posisi yang
umumnya diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan -dalam macam kalimat
tertentu- juga predikat. Ciri lain yang dimiliki pronomina ialah acuannya dapat
berpindah-pindah karena bergantung pada siapa yang menjadi pembicara/penulis,
yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang dibicarakan (Moeliono,
1997: 170).
Dalam bahasa Inggris dikenal tiga bentuk
kata ganti persona, yaitu persona pertama, persona kedua dan persona ketiga
(Lyons, 1997: 276 via Setiawan, 1997: 9). Bahasa Indonesia juga mengenal tiga
bentuk persona seperti dalam bahasa Inggris (P&P, 1988: 172 via Setiawan,
1997: 9).
Pronomina persona adalah pronomina yang
dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina dapat mengacu pada diri sendiri
(persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (persona kedua), atau
mengacu pada orang yang dibicarakan (persona ketiga) (Moeliono, 1997: 172).
1. Pronomina Persona Pertama
Dalam Bahasa Indonesia, pronomina
persona pertama tunggal adalah saya, aku, dan daku. Bentuk saya, biasanya
digunakan dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Bentuk saya, dapat juga dipakai
untuk menyatakan hubungan pemilikan dan diletakkan di belakang nomina yang
dimilikinya, misalnya: rumah saya, paman saya. Pronomina persona pertama aku,
lebih banyak digunakan dalam situasi non formal dan lebih banyak menunjukkan
keakraban antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Pronomina persona aku
mempunyai variasi bentuk, yaitu -ku dan ku-. Sedangkan untuk pronomina persona
pertama daku, pada umumnya digunakan dalam karya sastra.
Selain pronomina persona pertama tunggal,
bahasa Indonesia mengenal pronomina persona pertama jamak, yakni kami dan kita.
Kami bersifat eksklusif; artinya, pronomina itu mencakupi pembicara/penulis dan
orang lain dipihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain dipihak
pendengar/pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif; artinya, pronomina
itu mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan
mungkin pula pihak lain.
2. Pronomina Persona Kedua
Pronomina persona kedua tunggal
mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu Anda, dikau, kau- dan -mu.
Pronomina persona kedua engkau, kamu, dan -mu, dapat dipakai oleh orang tua
terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama; orang yang status
sosialnya lebih tinggi; orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang
umur atau status sosial.
Pronomina persona kedua Anda dimaksudkan
untuk menetralkan hubungan. Selain itu, pronomina Anda juga digunakan dalam
hubungan yang tak pribadi, sehingga Anda tidak diarahkan pada satu orang
khusus; dalam hubungan bersemuka, tetapi pembicara tidak ingin bersikap terlalu
formal ataupun terlalu akrab.
Pronomina persona kedua juga mempunyai
bentuk jamak, yaitu bentuk kalian dan bentuk pronomina persona kedua ditambah sekalian:
Anda sekalian, kamu sekalian. Pronomina persona kedua yang memiliki varisi
bentuk hanyalah engkau dan kamu. Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau-
dan -mu.
3. Pronomina Persona Ketiga
Pronomina persona ketiga tunggal terdiri
atas ia, dia, -nya dan beliau. Dalam posisi sebagai subjek, atau di depan
verba, ia dan dia sama-sama dapat dipakai. Akan tetapi, jika berfungsi sebagai
objek, atau terletak di sebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk dia
dan -nya yang dapat muncul. Pronomina persona ketiga tunggal beliau digunakan
untuk menyatakan rasa hormat, yakni dipakai oleh orang yang lebih muda atau
berstatus sosial lebih rendah daripada orang yang dibicarakan. Dari keempat
pronomina tersebut, hanya dia, -nya dan beliau yang dapat digunakan untuk
menyatakan milik.
Pronomina persona ketiga jamak adalah
mereka. Pada umumnya mereka hanya dipakai untuk insan. Benda atau konsep yang
jamak dinyatakan dengan cara yang lain; misalnya dengan mengulang nomina
tersebut atau dengan mengubah sintaksisnya.
Akan tetapi, pada cerita fiksi atau
narasi lain yang menggunakan gaya fiksi, kata mereka kadang-kadang juga dipakai
untuk mengacu pada binatang atau benda yang dianggap bernyawa. Mereka tidak
mempunyai variasi bentuk sehingga dalam posisi mana pun hanya bentuk itulah
yang dipakai, misalnya usul mereka, rumah mereka.
Contoh deiksis orang ketiga tunggal
dalam bahasa Indonesia:
“Wulan sangat pintar, Dia sering
mendapat juara saat mengikuti olimpiade”.
B.
Deiksis Tempat
Deiksis tempat ialah pemberian bentuk
pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk
bahasa Indonesia- membedakan antara “yang dekat kepada pembicara” misalnya: di
sisni, dan “yang bukan dekat kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada
pendengar -di situ, di sana) (Nababan, 1987: 41). Sebagai contoh penggunaan
deiksis tempat.
(8) a. Duduklah kamu di
sini.
b. Di sini dijual gas Elpiji.
Frasa di sini pada kalimat (8a) mengacu
ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (8b),
acuannya lebih luas, yakni suatu toko atau tempat penjualan yang lain.
Contoh deiksis tempat dalam bahasa
Indonesia yang jauh dari pembicara:
“Rumah Bowo Terkena banjir, di sana
sudah tidak ada penghuninya”.
C. Deiksis Waktu
Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada
rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam
banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala”
(Inggris: tense) (Nababan, 1987: 41). Misalnya: kemarin, besok, nanti,
sekarang, lusa dan lain-lain. Contoh pemakaian deiksis waktu dalam bahasa
Inggris.
(9) a. “I bought a book”.
b. “I am buying a book”.
Meskipun tanpa keterangan waktu, dalam
kalimat (9a) dan (9b), penggunaan deiksis waktu sudah jelas. Namun apabila
diperlukan pembedaan/ketegasan yang lebih terperinci, dapat ditambahkan sesuatu
kata/frasa keterangan waktu; umpamanya, yesterday, last year, now, dan
sebagainya. Contoh dalam bahasa Inggris:
(10) a. “I bought the book
yesterday”.
b. “I bought the book 2 years ago”.
Deiksis waktu juga ditujukan pada
partisipan dalam wacana. “Now” berarti waktu dimana pembicara sedang
menghasilkan ujaran. Waktu pengujaran berbeda dari waktu penerimaan, meskipun
dalam prakteknya peristiwa berbicara dan menerima memungkinkan berdekatan atau
kotemporal.
Hal menarik yang lain untuk diperhatikan
adalah istilah “ today, tomorrow, yesterday” apakah mengacu pada hari
keseluruhan atau pada saat tertentu, sebuah episode pada hari itu, seperti pada
contoh (10) dan (11) berikut:
(10) “Yesterday was Sunday”.
(11) “I fell off my bike
yesterday”.
Jumlah hari secara deiksis juga berbeda
dari bahasa satu ke bahasa yang lain: bahasa Jepang memiliki tiga hari ke
belakang dari “today” dan dua hari ke depan.
Contoh deiksis dalam bahasa Indonesia:
“kami akan mengunjungi sahabat lama
yang ada di semarang besok”.
D. Deiksis Wacana
Deiksis wacana ialah rujukan pada
bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang
dikembangkan (Nababan, 1987: 42).
Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora.
Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan
sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Misalnya: ini, itu,
dan yang terdahulu. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian
(yang akan disebut). Misalnya: yang berikut, di bawah ini, sebagai berikut,
anatara lain, dan diantaranya.
Contoh anafora:
(11) a. “Paman datang dari
desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya”.
b. “Karena aromanya yang khas, mangga
itu banyak dibeli”.
Dari kedua contoh di atas dapat kita
ketahui bahwa -nya pada contoh (11a) mengacu ke paman yang sudah disebut
sebelumnya, sedangkan pada contoh (11b) mengacu ke mangga yang disebut
kemudian.
Contoh katafora:
“Yang bertanda tangan di bawah ini
adalah”
“Jenis-jenis pragmatik adalah sebagai
berikut”
“Yang termasuk jenis deiksis antara
lain”
E. Deiksis Sosial
Deiksis sosial ialah rujukan yang
dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran
pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata.
Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan
pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi
kata-kata tertentu (Nababan, 1987: 42).
Dalam bahasa Jawa umpamanya, memakai
kata nedo dan kata dahar (makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan
sosial antara pembicara, pendengar dan/atau orang yang
dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional perbedaan bahasa (atau variasi
bahasa) seperti itu disebut “tingkatan bahasa”, dalam bahasa Jawa, ngoko dan
kromo dalam sistem pembagian dua, atau ngoko, madyo dan kromo inggil kalau
sistem bahasa itu dibagi tiga, dan ngoko, madyo, kromo dan kromo inggil kalau
sistemnya dibagi empat. Aspek berbahasa seperti ini disebut “kesopanan
berbahasa”, “unda-usuk”, atau ”etiket berbahasa” (Geertz, 1960:1.10)
Contoh dalam bahasa jawa:
a. “Ngoko”
Koe arek nangendi?
b. “modyo”
Sampeyan ajeng tengpundi?
c. “Kromo inggil”
Panjenengan ajeng bade tindak pundi?
F. Deiksis penunjuk
Di dalam bahasa Indonesia kita menyebut
demontratif (kata ganti penunjuk): ini untuk menunjuk sesuatu
yang dekat dengan penutur, danitu untuk menunjuk sesuatu yang jauh
dari pembicara. “Sesuatu” itu bukan hanya benda atau barang melainkan juga
keadaan, peristiwa, bahkan waktu. Perhatikan penggunaannya dalam
kalimat-kalimat berikut.
1.
Masalah ini harus kita selesaikan segera.
2.
Ketika peristiwa itu terjadi, saya masih kecil.
3.
Saat ini saya belum bisa ngomong.
Contoh-contoh di atas menunjukan,
penggunaan deiksis ini dan itutampaknya bergantung
kepada sikap penuturterhadap hal-hal yang ditunjuk; jika dia “merasa” sesuatu
itu dekat dengan dirinya, dia akan memakai ini, sebaliknya itu digunakan
untuk menyatakan sesuatu yang jauh darinya.
Banyak bahasa mempunyai deiksis jenis
ini hanya dua saja, yaitu yang sejajar dengan ini dan itu tadi.
Bahasa jawa mengenal iki untuk sesuatu yang dekat dengan
penutur dan iku dan kuwi untuk sesuatu yang
tidak dekat tetapi tidak terlalu jauh, dan iko dan kae untuk
yang sangat jauh.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Istilah pragmatik pertama-tama digunakan
oleh filosof kenamaan Charles Morris (1938). Filosof ini memang mempunyai
perhatian besar terhadap ilmu yang mempelajari system tanda (semiotik). Dalam
semiotik ini, dia membedakan tiga konsep dasar yaitu sintaktik, semantik, dan
pragmatik. Sintaktik mempelajari hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik
mempelajari hubungan antara tanda dengan objek. Pragmatik mengkaji hubungan
antara tanda dengan penafsir (interpreters). Tanda-tanda yang dimaksud di sini
adalah tanda-tanda bahasa bukan yang lain.
Deiksis berasal dari kata Yunani kuno
yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Dengan kata lain informasi
kontekstual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal tertentu
baik benda, tempat, ataupun waktu itulah yang disebut dengan deiksis, misalnya
he, here, now. Ketiga ungkapan itu memberi perintah untuk menunjuk konteks
tertentu agar makna ujaran dapat di pahami dengan tegas.Tenses atau kala juga
merupakan jenis deiksis. Misalnya then hanya dapat di rujuk dari situasinya.
3.2 Saran
Makalah yang penulis buat tentunya
masih jauh dari yang namanya “sempurna”. Ini disebabkan oleh keterbatasan
penulis, baik dalam hal pengetahuan dan pengalaman. Setelah
membaca makalah ini, diharapkan pembaca mencari sumber–sumber lain
yang berkaitan dengan kajian Deiksis sehingga dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Karena ada pepatah yang
mengatakan,“Semakin ilmu itu digali, maka semakin banyak yang tidak kita
ketahui”. Jadikan hal tersebut sebagai pemacu Anda untuk terus maju dan
meraih sukses.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2010). Pengertian deiksis. [online] tersedia: http://net-pengertian-deiksis-html.
Akses [23 Mei 2011]
Chaer Abdul dan Leonie Agustina. (2004). Sosiolinguistik. Jakarta:
Rineka Cipta.