Friday, June 22, 2012

PRAGMATIK BAHASA INDONESIA

PRAGMATIK
 

pragmatics (n) – pragmatik – pragmatika

pragmatis (adj) : melihat sesuatu dari kegunaan

pragmatisme: aliran yang melihat sesuatu dari kegunaan




Dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna.
Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.
Berbagai tindak tutur (TT) yang terjadi di masyarakat, baik TT representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, TT langsung dan tidak langsung, maupun TT harafiah dan tidak harafiah, atau kombinasi dari dua/lebih TT tersebut, merupakan bahan sekaligus fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis. Misalnya, bagaimanakah TT yang dilakukan oleh orang Jawa apabila ingin menyatakan suatu maksud tertentu, seperti ngongkon ‘menyuruh’, nyilih‘meminjam’, njaluk ‘meminta’, ngelem ‘memuji’, janji ‘berjanji’, menging ‘melarang’, dan ngapura ‘memaafkan’. Pengkajian TT tersebut tentu menjadi semakin menarik apabila peneliti mau mempertimbangkan prinsip kerja sama Grice dengan empat maksim: kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara; serta skala pragmatik dan derajat kesopansantunan yang dikembangkan oleh Leech (1983).

Pragmatik dan Fungsi Bahasa
Bidang “pragmatik” dalam linguistik dewasa ini mulai mendapat perhatian para peneliti dan pakar bahasa di Indonesia. Bidang ini cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Hal itu sesuai dengan pengertian pragmatik yang dikemukakan oleh Levinson (1987: 5 dan 7), pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian bahasa dan perspektif fungsional. Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur bahasa dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonbahasa.
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi. Di dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat dituturkan dengan berbagai bentuk tuturan. Misalnya, seorang guru yang bermaksud menyuruh muridnya untuk mengambilkan kapur di kantor, dia dapat memilih satu di antara tuturan-tuturan berikut:
(1)  Jupukna kapur!
(2)  Kene ora ana kapur.
(3)  Ibu ngersakake kapur.
(4)  O, jebul ora ana kapur.
(5)  Ing kene ora ana kapur, ya?
(6)  Ngapa ora padha gelem njupuk kapur?

Dengan demikian untuk maksud “menyuruh” agar seseorang melakukan suatu tindakan dapat diungkapkan dengan menggunakan kalimat imperatif seperti tuturan (1), kalimat deklaratif seperti tuturan (2-4), atau kalimat interogatif seperti tuturan (5-6). Jadi, secara pragmatis, kalimat berita (deklaratif) dan kalimat tanya (interogatif) di samping berfungsi untuk memberitakan atau menanyakan sesuatu juga berfungsi untuk menyuruh (imperatif atau direktif).

PRAGMATIK VS SEMANTIK
Sebelum dikemukakan batasan pragmatik kiranya perlu dijelaskan lebih dahulu perbedaan antara pragmatik dengan semantik.
(a)  Semantik mempelajari makna, yaitu makna kata dan makna kalimat, sedangkan pragmatik mempelajari maksud ujaran, yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan.
(b)  Kalau semantik bertanya “Apa makna X?” maka pragmatik bertanya “Apa yang Anda maksudkan dengan X?”
(c)  Makna di dalam semantik ditentukan oleh koteks, sedangkan makna di dalam pragmatik ditentukan oleh konteks, yakni siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana, dan apa fungsi ujaran itu. Berkaitan dengan perbedaan (c) ini, Kaswanti Purwo (1990: 16) merumuskan secara singkat “semantik bersifat bebas konteks (context independent), sedangkan pragmatik bersifat terikat konteks (context dependent)” (bandingkan Wijana, 1996: 3).

Definisi pragmatik:
  1. cabang ilmu bahasa yang menelaah penggunaan bahasa. Satuan-satuan lingual dalam penggunaannya.
  2. studi kebahasaan yang terikat konteks.
  3. studies meaning in relation to speech situation (Leech, 1983).
  4. cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan dalam komunikasi (Wijana, 1996: 2).

Cukup banyak kiranya batasan atau definisi mengenai pragmatik. Levinson (1987: 1-53), misalnya, membutuhkan 53 halaman hanya untuk menerangkan apakah pragmatik itu dan apa saja yang menjadi cakupannya. Di sini dikutipkan beberapa di antaranya yang dianggap cukup penting.
(1)  Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan penafsirnya, sedangkan semantik adalah kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh tanda tersebut.
(2)  Pragmatik adalah kajian mengenai penggunaan bahasa, sedangkan semantik adalah kajian mengenai makna.
(3)  Pragmatik adalah kajian bahasa dan perspektif fungsional, artinya kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonlinguistik.
(4)  Pragmatik adalah kajian mengenai hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar dari penjelasan tentang pemahaman bahasa.
(5)  Pragmatik adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana.
(6)  Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya.
Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami bahwa cakupan kajian pragmatik sangat luas sehingga sering dianggap tumpang tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik. Yang jelas disepakati ialah bahwa satuan kajian pragmatik bukanlah kata atau kalimat, melainkan tindak tutur atau tindak ujaran (speech act).

Stephen C. Levinson telah mengumpulkan sejumlah batasan pragmatik yang berasal dari berbagai sumber dan pakar, yang dapat dirangkum seperti berikut ini.
  1. Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan tanda-tanda dengan penafsir (Morris, 1938:6). Teori pragmatik menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan penyimak dalam menyusun korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan suatu proposisi (rencana, atau masalah). Dalam hal ini teori pragmatik merupakan bagian dari performansi.
  2. Pragmatik adalah telaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatisasikan atau disandikan dalam struktur sesuatu bahasa.
  3. Pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, atau dengan perkataaan lain: memperbincangkan segala aspek makna ucapan yang tidak dapat dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi kebenaran kalimat yang ciucapkan. Secara kasar dapat dirumuskan: pragmatik = makna – kondisi-kondisi kebenaran.
  4. Pragmatik adalah telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks secara tepat.
  5. Pragmatik adalah telaah mengenai deiksis, implikatur, anggapan penutur (presupposition), tindak ujar, dan aspek struktur wacana.

Parker (1986: 11), pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal structure of language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate.

Pragmatik sebenarnya merupakan bagian dari ilmu tanda atau semiotics atau semiotika.Pemakaian istilah pragmatik (pragmatics) dipopulerkan oleh seorang filosof bernamaCharles Morris (1938), yang mempunyai perhatian besar pada ilmu pengetahuan tentang tanda-tanda, atau semiotik (semiotics). Dalam semiotik, Morris membedakan tiga cabang yang berbeda dalam penyelidikan, yaitu: sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) yaitu telaah tentang relasi formal dari tanda yang satu dengan tanda yang lain (mempelajari hubungan satuan lingual dengan satuan lingual lain: tanda dengan tanda);  semantik (semantics) yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan objek di mana tanda-tanda itu diterapkan (ditandainya) (atau hubungan antara penanda dan petanda (signifiant dan signifie/yang ditandai)); dan pragmatik yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan penafsir (interpreters). Ketiga cabang tersebut kemudian lebih dikenal dengan teori trikotomi.
Contoh:
Kok, sudah pulang!
Isteri: ’betul-betul terkejut’ atau ’orang itu lama sekali perginya’
Suami menafsirkan: siapa yang berbicara, kepada siapasituasinya bagaimana?

L. Witgenstein (filsuf): makna adalah penggunaannya. Makna sebuah tuturan itu penggunaannya.

Cabang-cabang bahasa:
Fonologi: bunyi sebagai sistem   internal atau formal
diadik: bentuk dan makna
Morfologi: satuan gramatikal terkecil.
Sintaksis: frase, klausa, kalimat, wacana.
Semantik: makna (biasanya leksikal).
Pragmatik: cabang ilmu bahasa yang mempelajari makna satuan kebahasaan yang bersifat eksternal / bagaimana satuan kebahasaan itu dikomunikasikan   eksternal atau fungsional
triadik: bentuk, makna, dan maksud.

Semantik: makna linguistik (makna), bersifat internal.
Pragmatik: makna penutur (maksud), makna dalam penutur.

Contoh:
Sugeng enjing!
makna: menyapa
maksud: tergantung siapa yang berbicaraatau maksud lain, misalnya menyindir atau memarahi.

Baik!
makna: baik, apik
maksud: bisa tidak baik, dilihat dari berbagai faktor , ada hal-hal yang tidak langsung’indirectness atau secara tidak literal’.

Makna itu berubah-ubah tergantung pada konteksnya. Jadi, sebenarnya semantik sudah ada pragmatik.
Pragmatik: bagaimana orang menafsirkan. Mempelajari bagaimana satuan lingual itu ditafsirkan.


Asal-usul dan perilaku historis istilah pragmatik

Pemakaian istilah pragmatik (pragmatics) dipopulerkan oleh seorang filosof bernama Charles Morris (1938), yang mempunyai perhatian besar pada ilmu pengetahuan tentang tanda-tanda, atau semiotik (semiotics). Dalam semiotik, Morris membedakan tiga cabang yang berbeda dalam penyelidikan, yaitu: sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) yaitu telaah tentang relasi formal dari tanda yang satu dengan tanda yang lain, semantik (semantics) yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan objek di mana tanda-tanda itu diterapkan (ditandainya), dan pragmatik yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan penafsir (interpreters). Ketiga cabang tersebut kemudian lebih dikenal dengan teori trikotomi.
Morris memberikan contoh interjeksi seperti Oh!, Come here!, Good morning!dipengaruhi oleh hukum pragmatik, yaitu bahwa variasi retoris dan alat puitis hanya muncul di bawah kondisi tertentu dalam batas-batas pemakaian bahasa.
Akhirnya pengarang menyimpulkan bahwa perbedaan pemakaian istilah pragmatik ditimbulkan dari bagian asal-usul semantik karya Morris, yaitu suatu telaah dari sebagian besar jajaran fenomena psikologis dan sosiologis yang mencakup sistem tanda pada umumnya atau dalam bahasa tertentu (the Continental sense of the term); atau telaah konsep abstrak tertentu yang membuat acuan pada pelaku (agents) (satu gagasan dariCarnap); atau studi istilah indeksikal atau deiktis (deictis) (gagasan Montague); atau akhirnya pemakaian dalam linguistik Anglo-American dan filsafat.
Buku ini secara eksklusif menyangkut istilah pada gagasan yang terakhir dan menerapkannya pada pembicaraan ini.

Contoh semantika:
kursi                                                               ’tempat duduk’

signifiant (penanda)                                                signifie (petanda)

Terdapat suatu prinsip:
Noam Chomsky:
Terdapat hubungan satu lawan satu antara penanda dan petanda (signifiant  dan signifie).

Pragmatik:
Satu tanda bisa menyatakan bermacam-macam maksud atau bermacam-macam tanda satu maksud.
Contoh: ’menolak’ bisa dinyatakan dengan
Ora duwe dhuwit.
Omahku sepi kok.

  • Tuturan semakin panjang tuturan semakin sopan, semakin pendek tidak sopan.
o        Contoh: Lunga! (tidak sopan) dan Lungaa! (lebih sopan)
  • Semakin langsung semakin tidak sopan, semakin tidak langsung semakin sopan. (Contoh: Nyilih sepedha motore (tidak sopan) dan Menawa pareng, aku nyilih sepedha motore (lebih sopan)).

Obyek data pragmatik itu konkrit, jelas, karena:
-          jelas kapan bahasa itu digunakan
-          siapa yang berbicara
-          kepada siapa.
J.W.M. Verhaar (Pengantar Lingguistik Umum):
- Makna          : ada pada satuan lingual (internal)
- Maksud        : ada pada penutur (eksternal)
- Informasi     : isi tuturan (internal)

Dia membeli buku Buku dibelinya makna: ‘aktif’ dan ‘pasif’

Makna yang abstrak, yang tidak jelas siapa penuturnya tidak jelas.
Makna kongkrit: makna tuturan.

Berkenaan dengan data:
Data kalimat : sentence.
Data pragmatik: utterance (kalimat + konteks). Obyek data primer adalah bahasa lisan. Bahasa tulis juga bisa asalkan mampu merekonstruksi tuturan yang sebenarnya.

Sosiolinguistik: berkaitan dengan variasi bahasa.
  1. Dia pergi ke Surabaya. Ayahnya sakit. —-> terkait dengan wacana.
  2. + Piye bijimu
- Entuk 4                    wacana pragmatik
+ Apik!

Menurut Halliday (pakar Functional Grammar):
1.      Field (medan): siapa berbicara kepada siapa.
2.      Tenor (pelibat): misalnya, ayah dengan anak.
3.      Mode (bentuk bahasa): strategi memilih yang mana)

Pragmatik: retorika, bagaimana strateginya.

Widowson:
1.            Kalimat (sentence)     - minus konteks.
2.            Tuturan (utterance)   - plus konteks.
3.            Teks (texs)                   - di atas kalimat minus konteks.
4.            Wacana (discourse)   - di atas kalimat plus konteks.

Wacana: mengandung amanat yang lengkap.
Contoh:
Sugeng rawuh.
Lunga!                                    Wacana.

Jadi, wacana tidak selalu di atas kalimat.

Arep?                                                                         teks tidak jelas konteksnya, Kopi bisa marahi saya melek terus.                         menolak atau menerima.

Neng ngendi sabune?                     - kalimat tanya.



TUTURAN PERFORMATIF DAN TUTURAN KONSTATIF

Pustaka:

Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. (ed. J.O. Urmson). New York: Oxford University Press.
Harimurti Kridalaksana. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Leech, Geoffrey. (Terjemahan M.D.D. Oka). 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Richards, Jack dkk. 1989. Longman Dictionary of Applied Linguistics. Longman: Longman Group UK Limited.
Searle, John. 1969. Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.


Tuturan (utterance, oleh Kridalaksana disebut dengan istilah ujaran): (1) regangan wicara bermakna di antara dua kesenyapan aktual atau potensial, (2) kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan (Kridalaksana, 1984: 2001).
Intinya: bahasa pada umumnya sebagai alat komunikasi, tetapi sebenarnya ada tindakan tertentu yang baru dapat terlaksana kalau orang itu mengemukakan tuturan/bahasa.Dengan demikian bahasa bukan semata-mata alat untuk menyatakan sesuatu tetapi juga melakukan sesuatu.
Filosof J.L. Austin membedakan antara tuturan performatif (performativei) dan konstatif (constative).

Definisi:
Tuturan performatif (performative utterance): tuturan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga; misalnya: dalam ujaran Saya mengucapkan terima kasih, pembicara mengujarkannya dan sekaligus menyelesaikan perbuatan “mengucapkan” (Kridalaksana, 1984: 2001). Performative (in speech act theory): an utterance which performs an act, such as Watch out (=a warning), I promise not to be late(= a promise). ((Richards dkk., 1989: 212). Secara ringkas dikatakan pula bahwa tuturan performatif adalah tuturan untuk melakukan sesuatu (perform the action).
Tuturan performatif  tidak dievaluasi sebagai benar atau salah, tetapi sebagai tepat atau tidak tepat, misalnya: I promise that I shall be there (Saya berjanji bahwa saya akan hadir di sana) dan performatif primer atau tuturan primer I shall be there (Saya akan hadir di sana) (Geoffrey Leech (terjemahan), 1993: 280).

Contoh lain:
1.     Saya berterima kasih atas kebaikan Saudara. (Tindakan berterima kasih: the act of thanking)
2.     Saya mohon maaf atas keterlambatan saya. (Tindakan mohon maaf: the act of apologizing).
3.     Saya namakan anak saya Parikesit. (Tindakan memberi nama: the act of naming).
4.     Saya bertaruh Mike Tyson pasti menang. (Tindakan bertaruh: the act of betting).
5.     Saya nyatakan Anda berua suami-isteri. (Tindakan menyatakan/menikahkan: the act of marrying).
6.     Saya serahkan semua harta saya kepada anak saya. (Tindakan menyerahkan: the act of bequeting).
7.     Saya akan pergi sekarang. (Tindakan pergi: the act of going).

Ciri-ciri tindakan performatif
§         Subyek harus orang pertama, bukan orang kedua atau ketiga.
§         Tindakan sedang/akan dilakukan
Kalau dalam bahasa Inggris, subjek orang pertama dan kala-nya present tense.
Austin dalam menentukan ciri-ciri tuturan performatif ini hanya melihat aspek gramatikalnya saja. Akhirnya direvisi (dilengkapi) oleh murid-muridnya, yaitu dengan adanya syarat-syarat lainnya yang disebut syarat tuturan performatif (felicity condition). Syarat-syarat itu antara lain:
1.       Orang yang menyatakan tuturan dan tempatnya harus sesuai atau cocok. Misalnya: Saya nyatakan Anda berdua suami-isteri. Penuturnya adalah penghulu (naib), pendeta, rama,  tempatnya di KUA, Gereja, Pura, Masjid,  objeknya 2 orang (berdua).
2.       Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguholeh penutur. Misalnya: Saya mohon maaf atas kesalahan saya. Harus diucapkan sungguh-sungguh, tidak dengan tindakan menginjak kaki mitra tutur-nya.

Syarat itu juga belum cukup, kemudian diperbaharui lagi oleh John Searle, sebagai berikut.
1.       Penutur harus memiliki niat yang sungguh-sungguh dalam mengemukakan tuturannya. Misalnya: Saya berjanji akan setia padamu. (the act of promising).
2.       Penutur harus yakin bahwa ia mampu melakukan tindakan itu. atau mampu melakukan apa yang dinyatakan dalam tuturannya. Misalnya: Sesuk kowe tak-tukokke sepur (yakin tidak, kalau tidak berarti bukan tuturan performatif).
3.       Tuturan harus mempredikasi tindakan yan g akan dilakukan, bukan yang telah dilakukan. Misalnya: Saya berjanji akan setia.
4.       Tuturan harus mempredikasi tindakan yang akan dilakukan oleh penutur, bukan oleh orang lain. Misalnya: Saya berjanji bahwa saya akan selalu datang tepat waktu.
5.       Tindakan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh kedua belah pihak. Misalnya: Aku njaluk pangapura marang sliramu, tumindakku kang ora ndadekake renaning penggalihmu. (Orang perta dan kedua melakukan tindakan secara sungguh-sungguh).
Kalau tuturan tidak memenuhi kelima syarat tersebut, maka tuturan itu dikatakan tidak valid (infelicition).

Tuturan konstatif atau deskriptif (constative utterance): tuturan yang dipergunakan untuk menggambarkan atau memerikan peristiwa, proses, keadaan, dsb. dan sifatnya betul atau tidak betul (Kridalaksana, 1984: 2001)., atau Austin mengatakan bahwa tuturan konstatif dapat dievaluasi dari segi benar-salah (Geoffrey Leech (terjemahan), 1993: 316).
Misalnya:
1.       Ali pergi ke Jakarta
2.       Saya tidur di hotel.

A constative is an utterance which assert something that is either true or false; for example, Chicago is in the United States (Richards dkk., 1989: 212-213).

TINDAK TUTUR
(Speech Act)

A. Pengertian
Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ / speech act, speech event): pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana, 1984: 154)
Speech act: an utterance as a functional unit in communication (Richards et al, 1989: 265).Di dalam mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga “menindakkan” sesuatu. Dengan pengucapan kalimat Arep ngombe apa? si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu; ia juga menindakkan sesuatu, yakni menawarkan minuman. Seorang ibu rumah pondokan putri, mengatakan Sampun jamsanga ia tidak semata-mata memberi tahu keadaan jam pada waktu itu; ia juga menindakkan sesuatu, yaitu memerintahkan si mitratutur supaya pergi meninggalkan rumah pondokannya.
Hal-hal apa sajakah yang dapat ditindakkan di dalam berbicara? Ada cukup banyak; antara lain, permintaan (requests), pemberian izin (permissons), tawaran (offers), ajakan (invitation), penerimaan akan tawaran (acceptation of offers)

B. TINDAK TUTUR DAN JENIS-JENISNYA
Tindak tutur (selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.

3.1 Lokusi, Ilokusi, dan Perlokusi
Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak” dalam tindak lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan “ngelak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa bermaksud untuk minta minum.
Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, “Aku ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.
Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.

3.2 TT Representatif, Direktif, Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
(1)  TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.
(2)  TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT melakukan tindakan yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
(3)  TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengritik, dan mengeluh.
(4)  TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya, misalnya berjanji dan bersumpah.
(5)  TT deklaratif merupakan TT yang dilakukan P dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru, misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.

Pada bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu fungsi dapat dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk maksud atau fungsi “menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987) (lihat Gunarwan, 1993:  dapat diungkapkan dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.

(1)  Kalimat bermodus imperatif      :  Pindhahen meja iki!
(2)  Performatif eksplisit                   :  Dakjaluk sliramu mindhahke meja iki!
(3)  Performatif berpagar                 :  Aku jan-jane arep njaluk tulung sliramu mindhahke meja iki.
(4)  Pernyataan keharusan               :  Sliramu kudu mindhahke meja iki!
(5)  Pernyataan keinginan                :  Aku kepengin meja iki dipindhah.
(6)  Rumusan saran                            :  Piye yen meja iki dipindhah?
(7)  Persiapan pertanyaan                :  Kowe bisa mindhah meja iki?
(8)  Isyarat kuat                                  :  Yen meja iki ana ing kene, kamar iki katon rupek.
(9)  Isyarat halus                                 :  Kamar iki kok katone sesak ngono ya?

3.3 TT Langsung vs TT Tidak Langsung
Dari sembilan bentuk ujaran tersebut diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat kelangsungannya dalam menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini berkaitan dengan tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL). Derajat kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi ( di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut, yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa isyarat halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9), maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.
Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau tindak tutur tidak harafiah (TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu, kelangsungan dan keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam ujaran, yaitu:
(1)  TT-LH         :  “Buka mulut”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya.
(2)  TT-LTH       :  “Tutup mulut”, misalnya diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada MT-nya yang selalu “cerewet”.
(3)  TT-TLH       :  “Bagaimana kalau mulutnya dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter gigi kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
(4)  TT-TLTH     :  “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika kita semua sepakat menutup mulut kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka rahasia.

Dengan demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).
(1)  Tindak tutur langsung (TT-L)
(2)  Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
(3)  Tindak tutur harafiah (TT-H)
(4)  Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
(5)  Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
(6)  Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
(7)  Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)\
(8)  Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)
Apabila seseorang menggunakan bahasa, maka ada 3 jenis tindakan atau tindak tutur (selanjutnya disingkat TT), yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Austin (1962) yang melihat adanya tiga jenis tindak ujar, yaitu tindak lokusi(melakukan tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tidakan dalam mengatakan sesuatu), dan tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan mengatakan sesuatu). Misalnya:

1.
Lokusi n mengatakan kepada t bahwa X. (merupakan tindak mengatakan sesuatu: menghasilkan serangkaian bunyi yang berarti sesuatu. Ini merupakan aspek bahasa yang merupakan pokok penekanan linguistik tradisional).
2.
Ilokusi Dalam mengatakan X, n menegaskan (asserts) bahwa P. (Dilakukan dengan mengatakan sesuatu, dan mencakup tindak-tindak seperti bertaruh, berjanji, menolak, dan memesan. Sebagian verba yang digunakan untuk melabel tindak ilokusi bisa digunakan secara performatif. Dengan demikian mengatakan Saya menolak bahwa X sama halnya menolak bahwa X.)
3.
Perlokusi Dengan mengatakan X, n meyakinkan (convinces) t bahwa P. (Menghasilkan efek tertentu pada pendengar. Persuasi merupakan tindak perlokusi: orang tidak dapat mempersuai seseorang tentang sesuatu hanya dengan mengatakanSaya mempersuasi anda. Contoh-contoh yang sesuai adalah meyakinkan, melukai, menakut-nakuti, dan membuat tertawa)

Perbedaan kekuatan antara perlokusi dan ilokusi tidak selalu jelas. Misalnya, suruhan (request) memiliki kekuatan esensial untuk membuat pendengar melakukan sesuatu. Kesulitan dalam definisi ini muncul dari urutan tindakan yang banyak diabaikan oleh teori tindak tutur. Kesulitan itu juga muncul dari dasar definisi maksud penutur, yang merupakan keadaan psikologis yang tidak bisa diobservasi (lihat Abd. Syukur Ibrahim, 1993: 115).

1. TT lokusi:  Austin, perbuatan bertutur, hal mengungkapkan sesuatu atau menyatakan sesuatu (locutionary speech act).
Misalnya: Dia sakit.
Kaki manusia dua.
Pohon punya daun.
Wacana-wacana ilmiah yang tidak menekankan emosi termasuk TT lokusi. TT ini sangat sedikit peranannya dalam pragmatik.

2. TT ilokusi: Austin, Searle, perbuatan yang dilakukan dalam mengujarkan sesuatu ataumelakukan sesuatu, mis. memperingatkanbertanya (illocutionary speech act).
Misalnya: Saya berjanji.
Ibunya di rumah! (bisa bermaksud melarang datang menemui anaknya)
Bapaknya galak! (bisa melarang jangan ke sana)
Saya tidak dapat datang. (minta maaf)
Kula nyuwun sekilo. (membeli)
Temboknya dicat! (jangan dekat tembok itu)
Adoh lho le! (jangan ke sana)
3. TT perlokusi: Austin, Searle, perbuatan yang dilakukan dengan mengujarkan sesuatu, membuat orang lain percaya akan sesuatu dengan mendesak orang lain untuk berbuat sesuatu, dll. atau mempengaruhi orang lain (perlocutionary speech act)
Misalnya:  Tempat itu jauh.

Tempat itu jauh
Lokusi
Lokusi
Perlokusi
Tempat itu jauh.
Tempat itu jauh.
Tempat itu jauh.
mengandung pesan.
metapesan ‘Jangan pergi ke sana!’
metapesan (Dalam pikiran mitratutur ada keputusan) “Saya tidak akan pergi ke sana.”


C. Tindak tutur langsung-tidak langsung dan literal-tidak literal

Berdasarkan isi kalimat atau tuturannya, kalimat dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif).

Berita
Tanya
Perintah
Adiknya sakit. Di mana handuk saya? Pergi!
Informasi ya, tidak (apa, intonasi) informasi (apa, siapa, di mana, kapan, ke mana, untuk apa, dsb.) larangan, ajakan, dan perintah biasa
TT langsung (direct speech) TT langsung (direct speech) TT langsung (direct speech)

Berdasarkan mudusnya, kalimat atau tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan langsung dan tutran tidak langsung. Misalnya:
[Tuturan langsung]
A: Minta uang untuk membeli gula!
B: Ini.

[Tuturan tidak langsung]
A: Gulanya habis, nyah.
B: Ini uangnya. Beli sana!

Kadang-kadang secara pragmatis kalimat berita dan tanya digunakan untuk memerintah, sehingga merupakan TT tidak langsung (indirect speech). Hal ini merupakan sesuatu yang penting dalam kajian pragmatik. Misalnya:

1. Rumahnya jauh. (ada maksud: jangan pergi ke sana).
2. Adiknya sakit. (ada maksud: jangan ribut atau tengoklah!)

Berdasarkan keliteralannya, tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan literal dan tuturan tidal literal.
1. Tuturan literal: tuturan yang sesuai dengan maksud atau modusnya. Misalnya, Buka mulutnya! (makna lugas: buka).
2. Tuturan tidak literal: tuturan yang tidak sesuai dengan maksud dalam tulisan/tuturan. Misalnya, Buka mulutnya! (makna tidak lugas: tutup). Hal ini disebut juga ‘nglulu’

Dalan bahasa kadang-kadang terjadi, yang bagus dikatakan jelek (hal ini disebut banter[bEnte]), yang jelek dikatakan bagus (disebut ‘ironi’).

Masing-masing tindak tutur (langsung, tidak langsung, literal, dan tidak literal) apabila disinggungkan (diinterseksikan) dapat dibedakan menjadi 8 macam seperti sebagai berikut.
1. TT langsung
2. TT tidak langsung
3. TT literal
4. TT tidak literal
5. TT langsung literal
6. TT tidak langsung literal
7. TT langsung tidak literal
8. TT tidak langsung tidak literal

Misalnya, kalimat Radione kurang banter.

1.
TT langsung Radione kurang banter. betul-betul kurang keras.
2.
TT tidak langsung keraskan radionya!
3.
TT literal betul-betul kurang keras.
4.
TT tidak literal suara radionya keras sekali.
5.
TT langsung literal betul-betul kurang keras
6.
TT tidak langsung literal keraskan radionya!
7.
TT langsung tidak literal suara radionya keras sekali.
8.
TT tidak langsung tidak literal matikan!









PRINSIP KERJA SAMA
(Cooperative Principle)

Sebelum belajar tentang ‘prinsip kerja sama’, kita perlu belajar tentang ‘asumsi pragmatik’.
Kalau orang berbicara kepada orang lain pasti ingin mengemukakan sesuatu. Selanjutnya orang lain diharapkan menangkap apa (hal) yang dikemukakan. Dengan adanya 2 tujuan ini, maka orang akan berbicara sejelas mungkin, tidak berbelit-belit, ringkas, tidak berlebihan, berbicara secara wajar (termasuk volume suara yang wajar).
Hanya saja dalam pragmatik terdapat penyimpangan-penyimpangan, ada maksud-maksud tertentu, tetapi ia harus bertanggung jawab atas penyimpangan itu, sehingga orang lain bisa mengetahui maksudnya. Mereka harus bekerja sama.
Contoh:
kikir                            : q2r
berdua satu tujuan  : ber-217-an
tekate dhewe                        : TKTDW
kutujukan                  : ku√49kan
wawan                       : wa-one
prawan ayu               : pra one are you
kian maju                   : q-an maju
lali main                     : la5in
dik daniel                   : dick&niel
kaki lima                    : kq lima
thank before             : thx b4
aku                             : aq
kamu                          : u
sama-sama               : =
yang                           : y9
sayang                       : sy9
anti gadis                   : an3dis
dan                             : n


Di dalam berkomunikasi, antara P dengan MT harus saling menjaga prinsip kerja sama (cooperative principle) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip kerja sama komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai kaidah percakapan. Secara lebih rinci, Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu menjadi empat maksim percakapan (periksa Gunarwan, 1993: 11; Lubis, 1993: 73; dan bandingkan pula Wijana, 1996: 46-53). Keempat maksim percakapan itu ialah sebagai berikut.

(1)  Maksim kuantitas:
a.  Berikan informasi Anda secukupnya atau sejumlah yang diperlukan oleh MT.
b.  Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.

(2)  Maksim kualitas:
a.  Katakanlah hal yang sebenarnya.
b.  Jangan katakan sesuatu yang Anda tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.
c.  Jangan katakan sesuatu tanpa bukti yang cukup.

(3)  Maksim relevansi:
a.  Katakan yang relevan.
b.  Bicaralah sesuai dengan permasalahan.

(4)  Maksim cara:
a.  Katakan dengan jelas.
b.  Hindari kekaburanan ujaran.
c.  Hindari ketaksaan.
d.  Bicaralah secara singkat, tidak bertele-tele.
e.  Berkatalah secara sistematis.

Kenyataan membuktikan, di dalam percakapan sehari-hari tidak jarang kita temukan praktik-praktik pelanggaran terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Akan tetapi, bagi pengamat pragmatik, justeru pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji: mengapa P melakukan pelanggaran terhadap maksim tertentu, ada maksud apa di balik pelanggaran maksim tersebut? Misalnya, mengapa P yang bermaksud meminjam uang atau memerlukan bantuan kepada MT biasanya diawali dengan menceritakan secara panjang lebar keadaan dirinya seraya disertai dengan janji-janji? Apakah itu berlaku secara universal? Bukankah tindakan tersebut melanggar maksim kuantitas?
Pada hemat saya, di antara empat maksim itu, maksim ketiga atau maksim relevansilah yang paling penting sebab betapa pun informasi yang kita sampaikan itu cukup serta disampaikan dengan cara yang jelas, sistematis, dan tidak ambigu, kalau informasi itu tidak relevan dengan permasalahan toh tidak akan membawa manfaat. Sejauh mana asumsi ini benar juga masih memerlukan pengkajian secara pragmatis.


Asumsi pragmatik ini merupakan titik acuan (point of reference). Untuk memenuhi komunikasi secara wajar dan terjadi kerja sama yang baik, maka dalam komunikasi harus memenuhi prinsip (maksim). Dalam pragmatik dikontrol oleh maksim (principle controlled), sedangkan dalam gramatika/ tatabahasa diatur oleh kaidah (rule governed).
Terdapat beberapa asumsi pragmatik, yaitu:

1. Maksim kuantitas
Berbicara sejumlah yang dibutuhkan oleh pendengar. Kalau lebih berarti ada tujuannya. Misalnya: Ibu kota Provinsi Jawa Timur Surabaya. (Secara kuantitas cukup jelas). Ibu kota Provinsi Jawa Timur Sura …… Tuturan ini disampaikan oleh guru, lalu murid menjawab ….. baya.

2. Maksim kualitas
Prinsip yang menghendaki orang-orang berbicara berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Misalnya: Buku itu dibuat dari kertas. Bukti cukup memadai, tetapi apabila ada tuturan *Buku itu dibuat dari nasi, bukti tidak memadai. Dalam kaitannya dengan maksim kualitas, terdapat penyimpangan maksim, misalnya Modal saja tidak bisa dan Untung saja tidak dapat.

3. Maksim relevansi
          Penutur dan mitra tutur berbicara secara relevan berdasarkan konteks pembicaraan.
Misalnya:
A         : Ini jam berapa?
B         : Ini jam 3.
Akan menjadi tidak relevan misalnya apabila B menjawab Ini baju kamu atau Di sana.

4. Maksim cara
          Tuturan harus dikomunikasikan secara wajar, tidak boleh ambigu (taksa), tidak terbalik (harus runtut).
Misalnya:
A         : Dia penyanyi solo.
B         : Benar, dia sering tampil di TVRI.
Tetapi kadang-kadang dalam tuturan yang wajar terjadi dis-ambiguasi (pengawaambiguan), sehingga kata-kata yang ambigu itu hanya satu makna.
Misalnya:
A         : Kamu penjahat kelas kakap, ya?
B         : Bukan, mujair.

A         : Ini Tanah Abang, ya?
B         : Jangan menghina, masak saya miskin seperti ini punya tanah.

Keempat prinsip tersebut di atas termasuk pada jenis ‘retorika tekstual’ sebab dalam pragmatik dikenal adanya retorika tekstual dan retorika interpersonal.
Retorika tekstual harus memenuhi 4 prinsip (maksim) kerja sama, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Sedangkan retorika interpersonal harus memperhitungkan orang lain. Jadi tidak hanya bersifat tekstual.
Retorika interpersonal membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Ada 6 macam prinsip agar memenuhi prinsip kesopanan.

Sebelum sampai pada prinsip kesopanan, perlu mengingat kembali dari adanya kategori sintaktik yang terdiri dari berita, tanya, dan perintah. Dalam kategori pragmatik didasarkan pada fungsi komunikatifnya. Yang diperhatikan adalah tuturan. Dalam kaitannya dengan kategori pragmatik ini ada tuturan komisif, tuturan impositif (direktif), tuturan asertif, tuturan ekspresif.
1. Tuturan komisif: berjanji, menawarkan. Misalnya:
Saya akan datang.
Boleh saya bawakan?
Saya akan setia.
Swear.
2. Tuturan impositif (direktif): menyuruh, memerintah, memohon. Misalnya:
Apakah Anda bisa menolong saya.
          Saya akan datang
(ada efek yang lain untuk memerintah)
3. Tuturan asertif: menyatakan sesuatu (objektif). Misalnya:
Bali terletak di sebelah timur Pulau Jawa.
          Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS memiliki 8 jurusan.
4. Tuturan ekspresif: menyatakan perasaan (emosi). Misalnya:
          Gedung itu indah sekali.
          Gadis itu cantik sekali.
Kadang-kadang sulit dibedakan antara tuturan asertif dengan ekspresif.

Selanjutnya agar memenuhi prinsip (maksim) kesopanan, berikut ini inti 6 prinsip kesopanan menurut Leech.

1. Maksim kebijaksanaan/kedermawanantact maxim. Ditujukan pada orang lain (other centred maxim). Jenis maksim ini untuk berjanji dan menawarkan (impositif, komisif).
= memaksimalkan keuntungan orang lain, meminimalkan kerugian orang lain.
Misalnya:
Ada yang bisa saya bantu?
A     : Mari saya bawakan!
B     : Tidak usah.

Tuturan A dan B disebut pragmatik paradoks.

2. Maksim penerimaan (approbation maxim). Ditujukan pada diri sendiri, bukan pada orang lain (self centred maxim). Maksim penerimaan ini ditujukan untuk menawarkan dan berjanji.
= memaksimalkan kerugian diri sendiri, meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Misalnya:
    Bolehkah saya bantu?
    Mari saya bantu.
    Apakah Anda bersedia membawakan?
    Bawakan ini! (tidak sopan)
    Mari saya antarkan!
    Tolong saya dihantarkan!

3. Maksim kemurahhatian (generosity maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim) Maksim ini ditujukan untuk kategori asertif dan ekspresif.
= memaksimalkan rasa hormat pada orang lain, meminimalkan rasa tidak hormat pada orang lain.
Misalnya:
    Omahmu jane apik, ning emane cedhak pabrik.
    Pekarangane jembar, nanging emane akeh sukete.

4. Maksim kerendahhatian (modesty maxim). Pusatnya pada diri sendiri (self centred maxim).
= meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri dan memaksimalkan rasa tidak hormat pada diri sendiri.
Misalnya:
A     : Kau sangat pandai.
B     : Ah tidak, biasa-biasa saja.

A     : Mobilnya bagus!
B     : Ah, begini saja kok bagus.

5. Maksim kesetujuan atau kecocokan (agreement maxim). Pusatnya pada orang lain (other centred maxim). Ditujukan untuk menyatakan pendapat dan ekspresif.
= memaksimalkan kesetujuan pada orang lain dan meminimalkan ketidaksetujuan pada orang lain.
Misalnya:
A     : Omah kuwi apik.
B     : Iya, apik banget.

A     : Omah kuwi apik banget.
B     : Wah elek banget ngono kok.
(Ketidaksetujuan total / tidak sopan)

A     : Wah, ayu banget ya dheweke?
B     : Iya, ning rada …. (kera).
(Ketidaksetujuan parsial / sopan)

6. Maksim kesimpatian (symphaty maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim). Ditujukan untuk menyatakan asertif dan ekspresif.
= memaksimalkan simpati pada orang lain dan meminimalkan antipati pada orang lain.
Misalnya:
A     : Saya lolos di UMPTN, Jon.
B     : Selamat, ya.

A     : Baru-baru ini dia telah meninggal.
B     : Oh, saya turut berduka cita.

TINDAKTUTUR LOKUSI, ILOKUSI, PERLOKUSI | TINDAK TUTUR DAN JENIS-JENISNYA | LOKUSI, ILOKUSI DAN PERKOLUSI

Tindak tutur atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pragmatik karena Tindak Tutur adalah satuan analisisnya. Uraian berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis Tindak Tutur.
Austin (1962) dalam How to do Things with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
1.      Tindak Tutur Lokusi
Tindak Tutur Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku ngelak” dalam tindak lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai ‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan “ngelak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa bermaksud untuk minta minum.
2.      Tindak Tutur Ilokusi
Tindak Tutur Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, “Aku ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.
3.      Tindak Tutur Perlokusi
Tindak Tutur Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat, perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.

TINDAK TUTUR LOKUSI, ILOKUSI DAN PERLOKUSI

A. Latar Belakang Masalah


               Dalam kehidupan di masyarakat manusia selalu melakukan interaksi atau hubungan dengan sesamanya adalah bahasa. Bahasa dan manusia merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, dalam arti keduanya berhubungan erat. Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling penting bagi manusia karena dengan bahasa manusia dapat mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran atau gagasannya. Agar komunikasi dapat berlangsung dengan baik, manusia harus menguasai keterampilan berbahasa. Tarigan (1986 : 2) menyatakan bahwa keterampilan berbahasa meliputi empat macam, yaitu keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Setiap keterampilan bahasa mempunyai hubungan yang erat dan konsep berpikir yang mendasari bahasa. Bahasa seseorang mencerminkan pikiran, semakin terampil seseorang berbahasa semakin cerah dan jelas pula pikirannya. Kridalaksana (1984 : 28) berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang arbiter yangdigunakan untuk bekerja sama, berinteraksi, atau mengidentifikasikan diri. Meningkatkan bahasa sebagai lambang makna dalam bahasa lisan lambang itu diwujudkan dalam bentuk tindak ujar dan dalam bahasa tulis wujud simbol tulisan dan keduanya memiliki tempat masing – masing. Baik bahasa lisan maupun tulisan digunakan manusia untuk berkomunikasi. Komunikasi secara langsung, misalnya ceramah, diskusi, dan tanya jawab. Sedang yang melalui media, contoh iklan di televisi, siaran di radio, penulisan opini atau artikel di majalah, surat kabar, dan lain – lain. Bahasa lisan, khususnya yang berupa tindak ujar atau tindak tutur dapat menimbulkan efek bagi penutur bahasa. Efek yang ditimbulkan oleh bahasa terhadap penutur adalah suatu tindakan tertentu sebagai umpan balik. Umpan balik memainkan peranan yang sangat kecil sebab ia menentukan berlanjutnya komunikasi atau berhentinya komunikasi. Iklan merupakan berita pesanan untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai tentang benda atau jasa yang ditawarkan atau pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di media massa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1999 : 322). Kajian pragmatik tentang tindak tutur sangat menarik untuk dilakukan, khususnya tindak tutur dalam naskah iklan radio banyak ditemukan seperti tindak tutur lokusi, ilokusi, perlokusi, dan banyak juga ditemukan banyak tuturan berita, tanya, dan perintah. Bahasa yang digunakan dalam naskah iklan radio dibuat menarik agar menimbulkan daya pengaruh bagi pendengar. Kesan itulah yang membuat peneliti tertarik untuk mengkaji pemakaian bahasa pada iklan radio dengan judul.

  “TINDAK TUTUR LOKUSI, ILOKUSIDAN PERLOKUSI 
DALAM WACANA IKLAN BERBAHASA INDONESIA
Di RADIO GAJAH MADA 102,4 FM SEMARANG”

                Adapun radio Gajah Mada 102.4 FM Semarang yang dijadikan objek penelitian iklan karena di semarang radio tersebut merupakan radio swasta terbaik, jangkauannya luas, pendengarnya pun cukup banyak sehingga mengundang minat banyak pemasang iklan dalam rangka mengenalkan produk – produknya. Dengan banyaknya pemasangan iklan berarti bagi peneliti mempunyai banyak pilihan iklan – iklan yang akan dijadikan bahan penelitian. B. Perumusan Masalah Dari uraian dalam latar belakang masalah, dapatlah dirumuskan masalah penelitian yaitu : 1. Bagaimana tindak tutur dalam wacana iklan radio gajah mada 102.4 FM Semarang? 2. Bagaimana cara penyampian iklan yang terdapat dalam wacana iklan radio gajah mada 102.4 FM Semarang? C. Pembahasan Kridalaksana (1993 : 21) mengungkapkan batasan dalam kamus linguistik, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Definisi ini serupa dengan yang ada dalam Keei (1995 : 66) yang mendefinisikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang bersifat sewenang – wenang dan konvensional dan dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Fungsi Bahasa Nababan (1993 : 38) menyatakan bahwa fungsi paling dasar dari bahasa adalah sebagai alat komunikasi, yaitu alat pergaulan dan perhubungan sesama manusia. Peristiwa komunikasi terjadi apabila penutur bebicara kepada mitra tutur dengan mengungkapkan bahasa yang saling dimengerti studi pragmatik berkaitan dengan penggunaan bahasa. Suyono (1990 : 18) menyatakan tiga konsep dasar yang dikaji yaitu : 1. Tindak komunikatif sebagai wujud aktualisasi penggunaan bahasa. Dengan tindak komunikasi ini ada beberapa tindak bahasa yaitu menyela, mengundang, menyuruh, mengharapkan, meminta, dan sebagainya. 2. Peristiwa komunikatif yaitu satu unit perisitwa bahasa yang mempunyai keseragaman, keutuhan, dan kesatuan atas seperangkat komponen komunikatif. Situasi komunikatif yaitu konteks yang melingkupi terjadinya peristiwa komunikatif atau konteks dalam peristiwa komunikasi terjadi. Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa yang memiliki berbagi cabang. Cabang – cabang itu diantaranya adalah fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Keempat cabang linguistik yang pertama mempelajari struktur bahasa secara internal, sedangkan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana kesatuan bahasa itu digunakan (Wijana, 1996 : 1). Yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Jadi, interaksi yang berlangsung antara pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999 : 1058), langkah atau perbuatan, sedangkan tutur diartikan ucapan, kata, perkataan (1999 : 1090). Dari dua pengertian tersebut tindak tutur dapat diartikan sebagai perbuatan memproduksi tuturan atau ucapan. Oleh Tarigan dijelaskan (1986 : 36) bahwa tindak tutur atau tuturanyang dihasilkan oleh manusia dapat berupa ucapan. Ucapan dianggap suatu bentuk kegiatan atau suatu tindak ujar. Pada tahun 1962 dalam bukunya yang berjudul How to Do Thinks with Word, Austin telah membedakan tiga jenis tindak ujar, yaitu : 1. Tindak tutur lokusi Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini juga bersifat informasi dan tidak menuntut partisopan melakukan tindakan. 2. Tindak tutur lokusi Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. 3. Tindak tutur perlokusi Tuturan yang diucapkan seorang penutur sering memiliki efek atau daya pengaruh (perlocutinary force). Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu itulah yang oleh Austin (1962 : 101) dinamakan tindak perlokusi. Bentuk tuturan dapat dibedakan menjadi 3 yaitu berita (deklaratif), tanya (interogatif), dan perintah imperatif). 1. Berita (deklaratif) Berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan sesuatu kepada orang lain. 2. Tanya (interogatif) Berdasarkan fungsinya, kalimat tanya berfungsi untuk menanyakan. 3. Perintah (imperatif) Berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat ini mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari lawan bicara. Data dalam penelitian ini adalah tuturan yang dinyatakan dalam sejumlah naskah iklan radio. Subroto (1992 : 34), sumber data adalah semua informasi atau bahan yang diserahkan oleh alam (dalam arti luas) yang harus dicari atau dikumpulkan dan dipilah oleh peneliti. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah sejumlah naskah iklan yang disiarkan melalui media radio. Data dalam penelitian ini, penelitian ini mengambil lima belas naskah iklan yang disiarkan oleh radio gajah mada 102.4 FM yang diduga memiliki aspek tindak tutur dan bentuk tuturan. Menurut Subroto (1992 : 23) istilah metode penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai sebuah strategi kerja berdasarkan kerangka berpikir tertentu. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, metode diartikan sebagai kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dalam penulisan proposal ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif. Moelong (1993 : 3) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang menghasilkan data berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan perilaku yang diamati. Artinya wujud data dalam bahasa adalah kata, kalimat, dan wacana. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam suatu penelitian sangat penting. Data yang terkumpul selanjutnya akan digunakan untuk analisis agar penelitian dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah rekam, simak dan catat. Teknik pengumpulan data sebagai berikut: Pertama, data yang diambil dengan menggunakan teknik simak yaitu mengadakan penyimakan terhadap data yang relevan, yang sesuai dengan tujuan penelitian (Subroto, 1992 : 41 – 42). Dengan teknik ini dilakukan penyimakan pada tindak tutur dan bentuk tuturan yang terdapat dalam sejumlah naskah iklan radio. Kedua, setelah dilakukan penyimakan kemudian diteruskan dengan pencatatan terhadap data yang relevan dan yang sesuai dengan tujuan penelitian (Subroto, 1992 : 41 – 42) sehingga dapat diketahui klasifikasi data menurut bentuk, fungsi. Teknik analisis data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan. Metode padan adalah alat penentunya dari luar telepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Analisis dalam penelitian ini adalah analisis non statistik yaitu analisis yang tidak menggunakan rumusan statistik. Analisis yang dilakukan berdasarkan teori-teori yang ada. Penyajian Hasil Analisis Penyajian hasil analisis dalam penelitian ini penulis menggunakan metode informasi menurut Sudaryanto (1993 : 143), metode informasi adalah perumusan dalam kata – kata biasa walaupun dengan sifatnya yang teknis. Berdasarkan tuturan-tuturan tokoh iklan dalam wacana di radio, tindak tutur dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan cara penyampaianya adalah 1. Dengan Pernyataan 2. Dengan Kealatan 3. Dengan Pemasaran 4. Dengan Peyakinan 5. Dengan Kenal Pasti 6. Dengan Perbandingan 8. Dengan Pertanyaan 9. Dengan Peringatan 10. Dengan Suruhan 11. Dengan Ajakan 13. Dengan Nasehat 14. Dengan Gabungan. Berkaitan dengan hal tersebut, tuturan di atas dapat menimbulkan efek psikologi yang berbeda-beda pada diri pemirsa. Berikut ini analisis wujud tindak tutur wacana iklan dan efek psikologi yang dirasakan oleh pemirsa. Tindak tutur dengan indikator menyuruh Tindak tutur dengan indikator menyuruh yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan yang berisi tuturan menyuruh. Tuturan ini merupakan tuturan yang memerintah agar seseorang melakukan sesuatu. Iklan fatigon Konteks : 
(SEORANG KARYAWATI TERLAMBAT DATANG KEKANTOR)
Karyawati : sorry, kemarin aku sibuk, kerjaan menumpuk, badan capek, pegal-pegal, otot kaku-kaku.” Karyawan : minum fatigon pagi dan sore biar kerjaan tuntas, bangun tidur badan enak.” Tuturan yang diucapkan oleh seorang karyawan yang dianjurkan kepada karyawati yang terlambat kekantor adalah tuturan. “minum fatigon pagi dan sore.” Seorang karyawan menganjurkan karyawati untuk mengkonsumsi fatigon untuk memulihkan stamina yang hilang dan badan terasa bugar kembali. Ciri konteks yang melekat pada tuturan tersebut disampaikan dengan nada rendah dan tekanan jatuh pada kata minum. Bagi karyawati. Tuturan tersebut memberi efek pada dirinya untuk mengkonsumsi fatigon seperti yang dianjurkan kartawan. Tindak tutur dengan indikator mengajak Tindak tutur dengan indikator mengajak adalah tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar penutur melakukan tindakan yang disebutkan dalam tuturan mengajak. Tuturan tersebut merupakan tuturan yang dilakukan untuk meminta supaya turut/membangkitkan hati supaya melakukan sesuatu.

Iklan promag Konteks : (SEORANG LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN MENGINFORMASIKAN SESUATU) 
Laki-laki : “ sibuk jangan lupa makan” “ makan teratur itu perlu, begitu merasa sakit mag , minumlah promag setiap sebelum atau sesudah makan dan sebelum tidur. Tugas jadi tak terganggu kalau mual, perih, kembung promag obatnya.” Tuturan “begitu merasa sakit mag , minumlah promag setiap sebelum atau sesudah makan dan sebelum tidur.” Dengan maksud untuk mengajak pemirsa jika sakit mag minulah promag setiap sebelum atau sesudah makan dan sebelum tidur diimbangi makan yang teratur karena dalam iklan tersebut tidak terdapat percakapan antara tokoh iklan sehingga sasarannya pemirsah.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. 2009. Proposal Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rekaan Citra Depdikbud. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka Halliday, M. A. K dan Ruqaiyah Hasan. 1994. Bahasa Konteks dan Teks. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press Jefkin, Frank. 1995. Periklanan. Jakarta : Erlangga Kaswanti Purwa, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyimak kurikulum 1994. Yogyakarta : Kanisius Lec Monlee dan Carla Johnson. 2007. Prinsip – prinsip Pokok Periklanan Dalam Perspektif Global. Jakarta : Kencana Leech, G. D. 1993. Prinsip – prinsip Pragmatik (terjemahan). Jakarta : Universitas Indonesia Meolong, Lexi GJ. 1993. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Posdakarya Subroto, Edi. 1992. Pengantar Metode Penelitian. Surakarta : Sebelas Maret University Press Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta Wacana Press Tarrigan, Henri Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung : Angkara 

TINDAK TUTUR LOKUSI, ILOKUSI DAN PERLOKUSI
DALAM WACANA IKLAN BERBAHASA INDONESIA
DI RADIO GAJAH MADA 102.4 FM
SEMARANG       

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas remidi matakuliahseminar bahasa yang 
di ampu oleh : Dra.Ngatmini, M.Pd 

Disusun Oleh:
Nama :ghamblang
NPM : 07410632


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
  FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
IKIP PGRI SEMARANG
2010/2011 

PRAGMATIK

pragmatik

Mengapa Pragmatik Perlu Dipelajari dalam Program Studi Linguistik?
Sugianto, S.Pd.
13 Desember 2010
1. Pendahuluan
Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa dengan semantik, yaitu makna, seperti akan saya jelaskan kemudian, makna yang dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik.
Makalah ini bertujuan menjelaskan pentingnya bidang pragmatik untuk dipelajari dalam program studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali makalah ini dengan pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara singkat topik-topik bahasannya, dan, dengan melihat perbedaan kajiannya dengan bidang lain dalam linguistik, menunjukkan pentingnya pragmatik.
2. Definisi Pragmatik
Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction).
Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
3. Perkembangan Pragmatik
Mey (1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1) kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.
Kecenderungan yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan Haji John Robert Ross, menolak pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness) bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed), bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).
Kecenderungan kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey 1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa semata-mata secara mandiri.
Tradisi yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika. Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.
Tradisi yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community) mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).
4. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik
4.1 Teori Tindak-Tutur
Melalui bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap oleh Marmaridou (2000: 1 (dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean (Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif (Thomas).
Austin, seperti dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang digunakan sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan hanya benar jika bersifat analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris. Contoh.
(1) Ada enam kata dalam kalimat ini
(2) Presiden RI adalah Soesilo Bambang Yoedoyono
Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof yang dikritik Austin ini mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat (1) benar secara analitis dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan kebenaran ini kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics (Thomas 1995: 30).
Austin (dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya, yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions). Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8). Contoh.
(3) Dengan ini, saya nikahkan kalian (performatif)
(4) Rumah Joni terbakar (konstatif)
Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif, karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh (4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa rumah Joni terbakar.
Tindakan yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas 1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act) dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act hubungannya tidak langsung atau menggunakan (bentuk) tindak-tutur lain (Gunarwan 2004: 9; dan Yule 1996: 54-55).
Selain itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive), direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive), dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54). Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya; ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status sesuatu.
4.2 Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)
Grice mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2) bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim), memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim), menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan secara singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas 1995: 63-64).
Berkaitan dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk memberikan informasi secara tersirat (implicature) dan menjaga muka lawan bicara (politeness).
4.3 Implikatur (Implicature)
Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57), menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan. Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan konteks tertentu (Thomas 1995: 58). Contoh.
(5) Bahkan Bapak Menteri Agama menghadiri sunatan anak saya
(6) Saya kebetulan ke Inggris untuk studi selama dua tahun dan berangkat besok
Contoh (5) di atas merupakan implikatur konvensional yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan, sedangkan contoh (6) merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’ dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan sunatan anak saya?
Berbeda dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice, implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas.
4.4 Teori Relevansi
Teori relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka, bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini. Dalam teori relevansi dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya. Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menyebutkan bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification. Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan (addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh.
(7) Pastikan semua pintu terkunci jika meninggalkan ruangan ini.
Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya, bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi. Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.
Selanjutnya, untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua, komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami implikatur dalam percakapan. Contoh yang ditulis Renkema (2004: 23) di bawah ini memberikan gambaran yang cukup jelas.
(8) A: Well, there is a shuttle service sixty euros one-way, when do you want to go?
B: At the weekend.
A: What weekend?
B: Next weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle service?
A: That might be cheaper. Then that's fifty.
Dalam percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be cheaper dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat which costs 60 euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam hal ini, ujaran at the weekend, dalam pengertian degree of relevance, merupakan ujaran yang relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang lebih besar, sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi contextual effect maka semakin rendah ia membutuhkan processing effort.
4.5 Kesantunan (Politeness)
Konsep strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas (tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan yang kedua disebut negative face.
Berdasarkan konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978) membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu: pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua, jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26). Contoh.
(9) a. Maaf, Pak, boleh tanya?
b. Numpang tanya, Mas?
Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (9a) mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua; sedangkan ujaran (9b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial jaraknya lebih dekat (9a).
Politeness (kesantunan) dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA mengancam stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness, face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian; sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan dengan politeness strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema (2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara melakukan FTA. Dalam hal ini, Renkema (2004: 27) memberi contoh strategi tersebut.
(5) a. Hey, lend me a hundred dollars. (baldly)
b. Hey, friend, could you lend me a hundred bucks? (positive polite)
c. I'm sorry I have to ask, but could you lend me a hundred dollars? (negative polite)
e. Oh no, I'm out of cash! I forgot to go to the bank today. (off record)
Teori kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam hal ini, Leech (dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim), bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim), bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim); dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration maxim).
5. Pragmatik dalam Linguistik
Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di atas, salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk linguistis, bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi, bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa, sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung. Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Selanjutnya, untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense) kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama, meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain, semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif, absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang bersinggungan dengan prinsip lain.
Lebih jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22), terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis, patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing, pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus dalam setiap bahasa.
6. Penutup
Seperti telah disebutkan di muka, tujuan tulisan ini adalah menunjukkan bahwa pragmatik penting dipelajari dalam program studi linguistik. Berdasarkan penjelasan di atas, saya melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena penggunaan bahasa sehari-hari, saya melihat kedudukan semantik dan pragmatik sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.
Daftar Acuan
Austin, John L. 1962. How to Do Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.
Brown, Penelope., dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Eelen, Gino. 2001. A Critique of Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome Publishing
Gunarwan, Asim. 2004. Dari Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah). IKIP Singaraja.
Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. Edinburgh: Pearson Education.
Renkema, Jan. 2004. Introduction to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Thomas. Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New York: Longman.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press

MENULIS SEBAGAI PROSES

A.   Pendahuluan Dalam makalah ini akan dibicarakan tentang menulis sebagai proses, Dan bagaimana dapat dikatakn menulis merupakan sebuah ...