KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan makalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Profesi Pendidikan di
STKIP Muhammadiyah Pringsewu.
Selama penulisan Makalah
ini, penulis mendapat bantuan dan dukungan dari semua pihak, maka Penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Bapak Suprapto BZ, M.Pd selaku
Dosen pengampu Mata Kuliah Profesi Pendidikan.
2.
Rekan-rekan yang selalu memberi
Doa dan dukungan baik secara moril maupun materil.
Penulis menyadari bahwa
Makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan
kritikan yang sifatnya membangun. Penulis berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca umumnya
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Program Sertifikasi Guru
2.2 Pengaruh Negatif Sertifikasi
Terhadap Kompetensi Profesional Guru
2.3 Cara Mengantisipasi Pengaruh Negatif
Sertifikasi Guru terhadap Kinerja dan
Kompetensi Guru
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sertifikasi guru merupakan sebuah terobosan
dalam dunia pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas seorang
guru, sehingga ke depan semua guru harus memiliki sertifikat sebagai lisensi
atau ijin mengajar. Dengan demikian, upaya pembentukan guru yang profesional di
Indonesia segera menjadi kenyataan dan diharapkan tidak semua orang dapat
menjadi guru dan tidak semua orang menjadikan profesi guru sebagai batu
loncatan untuk memperoleh pekerjaan seperti yang terjadi belakangan ini.
Program sertifikasi ini merupakan angin segar
bagi para guru, karena selain dapat meningkatan mutu pendidikan Indonesia
mereka juga mendapatkan haknya sebagai pekerja professional, termasuk
peningkatan kesejahteraannya. Meskipun demikian, guru juga dituntut untuk
memenuhi kewajibannya sebagai pekerja professional. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari Undang-Undang Sisdiknas, Standar Nasional Pendidikan
(SNP) serta Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD).
Dewasa ini, fenomena yang terkait dengan sertifikasi
guru adalah guru sebagai tenaga pendidik yang sering disebut sebagai agent
of learning (agen pembelajaran) menjadi sosok yang cenderung certificate-oriented
bukan program-oriented. Sebagian guru rela mengumpulkan sertifikat
dengan segala cara untuk melengkapi portopolio dalam sertifikasi daripada
memikirkan strategi atau teknik apa yang akan digunakan ketika mengajar. Bahkan
mereka tidak segan untuk membeli sertifikat pada panitia workshop atau seminar
yang terkait dengan pengembangan pengajaran
1.2 Tujuan
Tujuan
dari pembuatan Makalah ini adalah :
1.
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Profesi Pendidikan
2
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh program
sertifikasi guru terhadap pembentukan Pendidikan saat ini.
3
Mengetahui hubungan yang terjadi terhadap
profesionalisme Guru yang diterapkan di Indonesia sebagai upaya peningkatan
profesional guru.
4
Signifikansi perubahan akibat Profesionalisasi
Tenaga Pedidik yang terus ditingkatkan melaui sertifikasi guru terhadap
perwujudan Mutu Pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Program Sertifikasi Guru
Pada hakikatnya sertifikasi merupakan suatu
usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia dengan
meningkatkan kualitas guru serta kesejahteraannya. Untuk meningkatkan kualitas
guru dengan karakteristik yang dinilai kompeten maka salah satu caranya adalah
dengan sertifikasi. Diharapkan seluruh guru Indonesia nantinya mempunyai
sertifikat atau lisensi mengajar. Tentu saja dengan ukuran karakteristik guru
yang dinilai kompeten secara professional. Hal ini merupakan implementasi dari
Undang-Undang tentang guru dan dosen bab IV pasal 8 yang menjelaskan bahwa guru
wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional (Undang-Undang, Nomor 14, 2005)
Peningkatan mutu guru lewat program sertifikasi
ini sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan. Rasionalnya adalah apabila
kompetensi guru bagus yang diikuti dengan kesejahteraan yang bagus, diharapkan
kinerjanya juga bagus. Apabila kinerjanya juga bagus maka KBM-nya juga bagus.
KBM yang bagus diharapkan dapat membuahkan pendidikan yang bermutu (Masnur
Muslich, 2007). Pemikiran itulah yang mendasari bahwa guru perlu disertifikasi.
Menurut Masnur Muslich manfaat uji sertifikasi
antara lain sebagai berikut:
1. Melindungi profesi guru dari praktik
layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi
guru itu sendiri.
2. Melindungi masyarakat dari praktik
pendidikan yang tidak berkualitas dan professional yang akan menghambat upaya
peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri
ini.
3. Menjadi wahana penjamin mutu bagi
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang bertugas mempersiapkan calon
guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan.
4. Menjaga lembaga penyelenggara
pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat
menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
Seseorang yang ingin menjadi guru yang
bersertifikat pendidik (professional) harus mengikuti program pendidikan
profesi guru dan uji kompetensi. Setelah menempuh dan lulus pendidikan profesi,
kemudian mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik dalam
program sertifikasi calon guru. Jika dinyatakan lulus sertifikasi, maka berhak
menyandang “guru pemula yang bersertifikasi profesi”. Sedangkan bagi guru di
sekolah (guru dalam jabatan) yang ingin memperoleh sertifikat pendidik, dapat
mengajukan ke Depdiknas Kabupaten atau Kota setempat untuk diseleksi (internal
skill audit). Apabila hasil dari seleksi tersebut memenuhi syarat, kemudian
diikutkan dalam uji sertifikasi yang diselengkarakan oleh LPTK yang ditunjuk.
Setelah mengikuti berbagai jenis tes dan dinyatakan lulus maka akan memperoleh
sertifikat pendidik dan mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji
pokok dari pemerintah. Bagi guru dalam jabatan yang tidak lolos dalam internal
skill audit maka disarankan mengikuti inservice training dahulu.
Jika telah dianggap layak dapat dilanjutkan uji sertifikasi.
Dalam rangka memperoleh profsionalisme guru,
hal yang diujikan dalam sertifikasi adalah kompetensi guru. Sebagaimana yang
tertuang dalam Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 10 dan Peraturan Pemerintah
tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, kompetensi guru meliputi
kompetensi pedagogic, kepribadian, professional, dan sosial. Pada sertifikasi
guru dalam jabatan, uji kompetensi terhadap keempat kompetensi tesebut
dilakukan dalam bentuk penilaian portopolio, yaitu penilaian terhadap kumpulan
dokumen yang diarahkan pada sepuluh komponen, sebagaimana yang tertuang dalam
Permendiknas Nomor 18 Tahun 2007 Pasal 2 Butir 3: Kualifikasi akademik,
pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran, penilaian dari atasan dan pengawas, prestasi akademik, karya
pengembangan profesi, keikutsertaan dalam forum ilmiah, pengalaman organisasi
di bidang ke pendidikan dan sosial, penghargaan yang relevan dengan bidang
pendidikan.
Standar Kompetensi Guru
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
Nasional (Sisdiknas, 2003 pasal 35 ayat 1), mengemukakan bahwa standar nasional
pendidikan terdiri atas satandar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Memahami hal
tersebut, sangat jelas bahwa guru yang bertugas sebagai pengelola pembelajaran
dituntut untuk memiliki standar kompetensi dan professional. Hal ini mengingat
betapa pentingnya peran guru dalam menata isi, sumber belajar, mengelola proses
pembelajaran, dan melakukan penilaian yang dapat memfasilitasi terciptanya
sumberdaya manusia yang memenuhi standar nasional dan standar tuntutan era
global.
Standar kompetensi dalam hal ini dimaksudkan
sebagai sesuatu spesifikasi teknis kompetensi yang dibakukan (BSN, 2001) yang
disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan
keselamatan, keamanan, kesehatan, prkembangan Ipteks, perkembangan masa kini
dan masa mendatang untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Kompetensi
merupakan komponen utama dari standar profesi selain kode etik sebagai regulasi
perilaku profesi yang dirtetapkan dalam prosedur dan system pengawasan
tertentu. Broke and Stone (1995) mengemukakan bahwa kompetensi guru sebagai “…descriptive
of qualitative nature of teacher behavior appears to be enterly meaningful…“
kompetensi guru merupakan gambaran kualitatif tentang hakikat perilaku guru
yang penuh arti. Dari pernyataan tersebut maka kompetensi diartikan dan
dimaknai sebagai perangkat perilaku efektif yang terkait dangan eksplorasi dan
investigasi, menganalisis dan memikirkan, serta memberikan perhatian, dan
mempersepsikan yang mengarahkan seseorang menemukan langkah-langkah preventive
untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, E.
Mulyasa (2007) mengemukakan bahwa kompetensi bukanlah suatu titik akhir dari
suatu upaya melainkan suatu proses yang berkembang dan belajar sepanjang hayat
(lifelong learning process).
Kompetensi guru merupakan perpaduan antara
kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara
kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup:
1. Penguasaan materi, yang meliputi
pemahaman karakteristik dan substansi ilmu sumber bahan pembelajaran, pemahaman
disiplin ilmu yang bersangkutan dalam konteks yang lebih luas, penggunaan
metodelogi ilmu yang bersangkutan untuk mempverivikasi dan memantpkan pemahaman
konsep yang dipelajari, serta pemahaman manajemen pembelajaran.
2. Pemahaman terhadap peserta didik
meliputi berbagai karakteristik, tahap-tahap perkembangan dalam berbagai aspek
dan penerapanya (kognitif, afektif, dan psikomotor) dalam mengoptimalkan
perkembangann dan pembelajaran.
3. Pembelajaran yang mendidik, yang
terdiri atas pemahaman konsep dasar proses pendidikan dan pembelajaran bidang
studi yang bersangkutan, serta penerpanya dalam pelaksanaan dan pengembangan
pembelajaran.
4. Pengembangan kepribadian
profesionalisme, yang mencakup pengembangan intuisi keagamaan yang
berkepribadian, sikap dan kemampuan mengaktualisasikan diri, serta sikap dan
kemampuan mengembangkan profesionalisme kependidikan.
Selain standar kompetensi profesi di atas, guru
juga perlu memuliki standar mental, moral, sosial, spiritual, intelektual,
fisik, dan psikis. Hal ini dipandang perlu karena dalam melaksanakan tugasnya
guru diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan (guide of journey) yang
bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan berdasarkan pengetahuan dan
pengalamannya (E. Mulyasa, 2007:28)
2.2 Pengaruh Negatif Sertifikasi Guru
Terhadap Kompetensi Guru
Fakta dilapangan sangat jelas bahwa untuk
memperoleh sertifikasi guru, hanya dengan menyerahkan portofolio. Padahal jika
dilihat dari aspek evaluasi, uji portofolio tidak menggambarkan kompetensi atau
kemampuan para guru sesuai dengan Undang-undang No. 14 tahun 2005 pasal 8 yang
menyatakan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Pelaksanaan program
sertifikasi tujuan dasarnya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan. Karena
dengan meningkatnya kualitas pendidikan, maka akan dapat pula mendongkrak
kualitas pendidikan bangsa Indonesia saat ini. Meski proses sertifikasi guru
sudah memasuki periode keempat, bukan berarti kendala dan permasalahan yang
menyertai sertifikasi guru sirna. Bahkan, problematika yang berasal dari para
peserta sertifikasi sendiri bermunculan, karena para guru saling berlomba
melengkapi berbagai persyaratan sertifikasi dengan cara yang tidak benar.
Terlebih, syarat sertifikasi hanya menyusun portofolio yang di dalamnya berisi
berbagai dokumen mengenai kompetensi guru dalam berbagai bidang.
Adapun dampak negative dari sertifikasi guru
berbasis portofolio terhadap kinerja dan kompetensi guru adalah:
Menjadi Sosok yang Certificate-Oriented
Ternyata implementasi sertifikasi guru dalam
bentuk penilaian portofolio ini kemudian menimbulkan polemik baru. Banyak para
pengamat pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan sertifikasi dalam
rangka meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang berhipotesis bahwa
sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tak akan berdampak sama sekali
terhadap peningkatan kinerja guru, apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu
pendidikan nasional. Hal ini berkaitan dengan temuan-temuan dilapangan bahwa
adanya indikasi kecurangan dalam melengkapi berkas portofolio oleh para guru
peserta sertifikasi. “Kecurangan dengan memalsukan dokumen portofolio itu
memang ada. Indikasinya kuat sekali. Temuan ini nanti akan diklarifikasi ke
guru hingga kepala sekolah yang bersangkutan,” Rochmat Wahab, Ketua Panitia
Pelaksana Uji Sertifikasi dari Universitas Negeri Yogyakarta (Kompas 18/9).
Semua guru ribut ikut seminar dan lokakarya
agar mendapat sertifikat, legalisasi ijazah dengan cara scan, lengkap
dengan tanda tangan kepala sekolah dan cap sekolah, termasuk ijazah S-1 yang entah
berasal dari perguruan tinggi mana. Salah satu penyebab terjadinya penyimpangan
tersebut adalah lemahnya pengarsipan data sehingga pada saat dokumen tertentu
dibutuhkan, para guru kerepotan karena tidak terbiasa mengarsip. Hal seperti ini
bisa saja lulus dalam proses sertifikasi. Sebab tidak dapat dipungkiri
bahwasannya asesor sebagai orang yang menilai portofolio melakukan kesalahan
dan tidak cermat dalam melakukan penilaian. Namun yang menjadi pertanyaan
adalah apakah guru sebagai cermin siswa itu jujur, apakah layak untuk mendapat
sertifikat pendidik sebagai pendidik profesional? Apa tidak malu jika
bersertifikat profesional, tetapi ijazah yang dimiliki ditempuh dengan cara
seperti itu?. Sebagian guru menjadi seorang yang certificate-oriented
bukannya programe-oriented yang seharusnya sibuk memikirkan teknik
pengajaran apa yang akan digunakan di dalam kelas agar hasil pembelajaranya
maksimal.
Miskin Keterampilan dan Kreatifitas
Guru bukanlah bagian dari sistem kurikulum,
tetapi keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan bergantung pada kemampuan,
kemauan, dan sikap professional tenaga guru (Soedijarto, 1993:136). Kalau
dikaitkan persyaratan professional seorang guru yang sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan yaitu, mampu merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, dan
menilai proses belajar secara relevan dan efektif maka seorang guru yang
professional akan dengan mudah lolos sertifikasi berbasis portofolio tanpa
harus memanipulasi berkasnya. Karena sebelumnya ia telah giat mengembangkan
dirinya demi anak didiknya. Namun yang menjadi persoalan adalah mereka, para
guru yang melakukan kecurangan dalam sertifikasi.
Temuan kecurangan dalam sertifikasi tersebut
jelas membuktikan bahwa guru yang lolos sertifikasi dengan cara memanipulasi
berkas portofolio, akan tetap mengajar dengan seadanya. Guru yang terampil dan
kreatif akan mampu menguasai dan membawa situasi pembelajaran dengan bekal
keterampilan dan ide-ide kreatifnya. Sehingga peserta didik pun lebih interest
mengikuti pelajaran, tidak jenuh dan berpikiran bahwa guru tersebut adalah
orang yang handal dan mempunyai banyak pengalaman. Berbeda halnya dengan guru
yang tidak kreatif. Mereka miskin keterampilan dan kreatifitas sehingga apa
yang disampaikan serasa kaku tanpa pengembangan konsep pembahasan. Penyajian
pelajaran hanya sebatas penyampaian secara tekstual. Dan menurut hemat penulis
hal ini lah yang dialami oleh para guru yang memanipulasi berkas portofolio
mereka dalam sertifikasi.
Degradasi Semangat Mengembangkan Diri
Jika dalam Standar Nasional Pendidikan
menyebutkan bahwa guru harus mengembangkan kepribadiannya ke arah
profesionalisme. Maka sertifikasi berbasis portofolio dipandang dapat
menghambat proses pengembangan tersebut. Karena seperti yang penulis paparkan
di atas, Bahwa sertifikasi selain untuk meningkatkan kualitas guru dan
pendidikan di Indonesia juga untuk meningkatkan kesejahteraan guru itu sendiri.
Dengan memberikan tunjangan satu kali gaji pokok. Kalau proses sertifikasi
hanya dinilai dengan berkas portofolio maka guru pun akan dengan instant
melengkapinya. Pengembangan diri yang meliputi standar profesi dan standar
mental, moral, sosial, spiritual, intelektual, fisik, dan psikis membutuhkan
proses yang panjang, tidak bisa secara instant. Apalagi hanya dibuktikan dengan
sertifikat kegiatan-kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan kependidikan jelas
tidak bisa dijadikan standar pengembangan diri seorang guru. Pada akhirnya para
guru pun enggan untuk berusaha mengembangkan dirinya sebagaimana yang dituntut
dalam Undang-ndang Guru dan Dosen serta Standar Pendidikan Nasional.
Merosotnya Kompetensi Profesi
Hasil penelitian United Nation Development
Programe (UNDP) pada tahun 2007 tentang Indeks Pengembangan Manusia menyatakan
Indonesia berada pada peringkat ke-107 dari 177 negara yang diteliti (http://mediaindonesia.com/index.php?ar_id=NDMOjY=).
Peringkat Indonesia yang rendah dalam kualitas
sumber daya manusia ini adalah gambaran mutu pendidikan Indonesia yang rendah.
Keterpurukan mutu pendidikan di Indonesia juga dinyatakan oleh United Nation
Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO)-Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang mengurus bidang pendidikan. Menurut Badan PBB itu, peringkat
Indonesia dalam bidang pendidikan pada tahun 2007 adalah 62 di antara 130
negara di dunia. Salah satu
penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %.
penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah komponen mutu guru. Rendahnya profesionalitas guru di Indonesia dapat dilihat dari kelayakan guru mengajar. Menurut Balitbang Depdiknas, guru-guru yang layak mengajar untuk tingkat SD baik negeri maupun swasta ternyata hanya 28,94%. Guru SMP negeri 54,12%, swasta 60,99%, guru SMA negeri 65,29%, swasta 64,73%, guru SMK negeri 55,91 %, swasta 58,26 %.
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah
untuk mengatasi permasalahan rendahnya kualitas guru ini adalah dengan
mengadakan sertifikasi berbasis portofolio. Dengan adanya sertifikasi,
pemerintah berharap kinerja guru akan meningkat dan pada gilirannya mutu
pendidikan nasional akan meningkat pula. Namun sertifikasi yang berbasis
portofolio tersebut menjadi keprihatinan banyak pihak. Hal ini dikarenakan
pelaksanaan sertifikasi dalam bentuk penilaian portofolio tidak lebih dari
penilaian terhadap tumpukan kertas. Kelayakan profesi guru dinilai berdasarkan
tumpukan kertas yang mampu dikumpulkan. Padahal untuk membuat tumpukan kertas
itu pada zaman sekarang amatlah mudah. Tidak mengherankan jika kemudian ada
beberapa kepala sekolah yang menyetting berkas portofolio guru di sekolahnya
tidak mencapai batas angka kelulusan. Mereka berharap guru-guru tersebut dapat
mengikuti diklat sertifikasi. Dengan mengikuti diklat sertifikasi, maka akan
banyak ilmu baru yang akan didapatkan secara cuma-cuma. Dan pada gilirannya, ilmu
yang mereka dapatkan di diklat sertifikasi akan diterapkan di sekolah atau di
kelas. Fenomena ini menerangkan bahwa sertifikasi berbasis portofolio
menyebabkan merosotnya kompetensi profesi guru.
2.3 Cara Mengantisipasi Pengaruh Negatif
Sertifikasi Guru terhadap
Kinerja
dan Kompetensi Guru
Berdasarkan gejala-gejala yang ditimbulkan dari
sertifikasi berbasis portofolio di atas, penulis mencoba merumuskan cara untuk
mengantisipasi pengaruh negatif yang lahir akibat gejala-gejala tersebut.
Diharapkan cara yang dimaksud dapat mendatangkan hasil positif bagi
permasalahan yang diangkat. Sehingga yang menjadi masalah dapat dikendalikan.
Cara yang dapat dilakukan sebagai langkah awal untuk membendung pengaruh
negatif sertifikasi guru berbasis portofolio adalah sebagai berikut:
1. Mensosialisasikan dan Meningkatkan
Pengawasan Sertifikasi
Terkait dengan indikasi adanya kecurangan
dokumen portofolio yang diserahkan guru yang terpilih dalam kuota, maka perlu
kiranya, Dinas Pendidikan di daerah selaku lembaga fasilitator kaum “Umar
Bakri” ini agar dapat terus menyosialisasikan program sertifikasi, supaya guru
tidak panik dalam menghadapi proses penilaian portofolio. Hal Ini harus
disosialisasikan oleh dinas pendidikan setempat bahwa guru tetap punya
kesempatan untuk lulus melalui pendidikan dan pelatihan. Bagi yang sudah dapat
sertifikat pendidik pun perlu diingatkan supaya bertanggung jawab terhadap
kualifikasi yang sudah diraih. Selain itu sosialisasi terkait sertifikasi ini
dapat membantu para guru yang belum mengerti apa yang harus dilakukan agar
lolos sertifikasi dengan jalan yang benar.
Para pengawas sertifikasi dalam hal ini tim
asesor juga perlu meningkatkan kejelian dan ketelitian dalam mensertifikasi
para peserta, agar tidak meloloskan peserta yang memanipulasi berkas
portofolionya. Serta meningkatkan kewaspadaan terhadap indikasi
kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi.
2. Meningkatkan Suguhan Up Grading
untuk Para Guru
Suguhan Up Grading yang penulis maksud
berupa peningkatan-peningkatan kualitas guru dipelbagai kompetensi. Up
Grading ini dapat berupa Kegiatan-kegiatan training, penataran, workshop,
dan apapun istilah lainnya. Cara ini dapat mengubah rahasia umum para guru,
bahwa yang dapat menikmati suguhan Up Grading tersebut hanyalah
segelintir dari mereka. Diutamakan yang dapat bekerjasama dengan pimpinan atau
dianggap berprestasi “di mata” atasan. Sehingga, yang dapat mengikuti
sertifikasi dengan baik dan benar juga akan menjadi sedikit saja. Sementara
kuota yang demikian besar membuat, lagi-lagi, menyediakan celah penyimpangan.
Terjadilah pemalsuan sertifikat, berkas-berkas terkait, data-data dan
sebagainya. Proses Up Grading harus sesuai dengan tujuan. Yaitu
meningkatkan empat kompetensi guru sebagaimana amanat Undang-undang Guru dan
Dosen No. 14 Tahun 2005 Pasal 10 tentang kompetensi guru dan pasal 32 tentang
pembinaan dan pengembangan. Pengembangan jangan terfokus pada pengembangan
kompetensi profesional yang lebih bersifat managerial kelas dan
administratif. Kompetensi lain yang meliputi paedagogis, kepribadian dan
sosial nyaris juga harus ditingkatkan. Selain itu pengembangan
kompetensi tersebut dilakukan tidak hanya dalam bentuk himbauan atau ceramah
saja.
Ironisnya menurut ketua pelaksana uji
sertifikasi guru di Yogyakarta (kompas, 19/12/2008) Rochmat Wahab
mengungkapkan, beberapa guru terbukti memalsukan ijazah dan akta guna
mendongkrak nilai. Untuk memenuhi prasyarat utama berpendidikan S1 atau D4,
guru-guru juga tak segan mengambil kuliah jalur cepat atau memalsukan
keterangan lama mengajar. Kemungkinan terjadi manipulasi oleh guru bisa dimulai
dari sejak penyusunan berkas. Kunci utama kebenaran berkas portofolio terletak
di tangan tiap guru. Dan hal ini sangat berbenturan dengan amanat Undang-Undang
Guru dan Dosen (UUGD) yang menjelaskan bahwa melalui standar kompetensi dan
sertifikasi, diharapkan dapat dipilah dan dipilih guru-guru professional yang
berhak mendapatkan tunjangan profesi. Selain itu praktik sertifikasi bebasis
portofolio tersebut tidak sesuai dengan hakikat sertifikasi itu sendiri.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh E. Mulyasa (2007) bahwa sertifikasi guru
adalah untuk mendapatkan guru yang baik dan professional, yang memiliki
kompetensi untuk melaksanakan fungsi dan tujuan sekolah khususnya, serta tujuan
pendidikan pada umumnya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman.
Hal utama yang menjadi penekanan dalam proses sertifikasi adalah kompetensi
guru. Penilaian portofolio sebagai dasar untuk menilai seoarang guru kompeten
atau tidak sangat tidak sesuai dengan keadaan sosiologis rakyat Indonesia yang
minim kesadaran, dimana masih terdapat praktik-praktik manipulasi data.
Menurut hemat penulis, fenomena tersebut
membenarkan apa yang dipaparkan pemerhati pendidikan bahwa pendidikan di
Indonesia sangat kaya akan angan-angan namun miskin mutu. Kebijakan pendidikan
nasional saat ini tidak jelas orientasinya, hanya berkutat pada hal-hal yang
bersifat teknis dan belum menyentuh persoalan-persoalan substansial, sehingga
mutu pendidikan tidak kunjung membaik (Moechtar Buchori, 2006). Dengan adanya
sertifikasi berbasis portofolio tidak menutup kemungkinan akan memperparah
kondisi pendidikan di Indonesia.
Kemudian yang menjadi kekhawatiran adalah
pengaruh negatif yang akan ditimbulkan dari sertifikasi guru berbasis
portofolio tersebut terhadap kompetensi guru dan hasil pembelajaran. Pertanyaan
yang kemudian lahir dari kekhawatiran tersebut adalah bagaimana upaya
mengantisipasi pengaruh negatif tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sertifikat pendidik ini diberikan kepada guru
yang memenuhi standar profesional guru. Standar profesioanal guru tercermin
dari uji kompetensi. Uji kompetensi dilaksanakan dalam bentuk penilaian
portofolio. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman
profeisonal guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang
mendeskripsikan kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman
mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, penilaian dari atasan dan
pengawas, prestasi akademik, karya pengembangan profesi, keikutsertaan dalam
forum ilmiah, pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan
penghargaan yang relevan.
Sertifikasi guru dalam bentuk penilaian
portofolio ini kemudian menimbulkan polemik baru. Banyak para pengamat
pendidikan yang menyangsikan keefektifan pelaksanaan sertifikasi dalam rangka
meningkatkan kinerja guru. Bahkan ada yang berhipotesis bahwa sertifikasi dalam
bentuk penilaian portofolio tak akan berdampak sama sekali terhadap peningkatan
kinerja guru, apalagi dikaitkan dengan peningkatan mutu pendidikan nasional.
Hal ini disebabkan banyaknya terjadi kecurangan atau manipulasi berkas yang
dilakukan oleh para guru.
3.2
Saran
Peningkatan kesejahterann guru dalam kaitannya
dengan sertifikasi harus dipahami dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan
nasional , baik dari segi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan secara eksplisit mengisyaratkan adanya standarisasi isi,
proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, pembiyaan, dan penilaian pendidikan dalam mencapai
tujuan pendidikan nasional.
Dengan adanya sertifikasi, diharapkan
kompetensi guru sebagai agen pembelajaran akan meningkat sesuai dengan standar
yang telah
ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar siswa.
ditetapkan. Dengan kompetensi guru yang memenuhi standar minimal dan kesejahteraan yang memadai diharapkan kinerja guru dalam mengelola proses pembelajaran dapat meningkat. Kualitas pembelajaran yang meningkat diharapkan akan bermuara akhir pada terjadinya peningkatan prestasi hasil belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Miarso,
Yusufhadi. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Pustekkom bekerjasama
dengan Kencana. 2004
Saettler,Paul. A History of Instructional
Technlogy. New York: McGraww-Hill Book Co. 1968
Seels,
Babara B. and Rita C. Richey. (1994). Instructional
Technology: The Definition and Domains of the Field. Washington,DC : AECT
Thompson, Merritt M. The History of Education. New York. Barne & Noble, Inc. 1963
Degeng,
N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi.
Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
No comments:
Post a Comment